BANDUNG: Kelebihan pasokan listrik atau over supply agar disiasati pemerintah sebagai dampak dari megaproyek 35 GW.
Hal itu dikatakan anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat Sjarifuddin Hasan.
Menurutnya, sejatinya over supply tersebut menjadi berkah di tengah ancaman krisis energi global.
Meskipun menyisakan beberapa pertanyaan dan kendala atas kelebihan pasokan.
Dia menilai hal ini mesti dijadikan momentum ini untuk transisi energi ke energi yang lebih hijau dan bersih (green and clean energy) dan berbasis domestik.
Wacana transisi energi dengan memprioritaskan energi baru dan terbarukan (EBT) perlu dieksekusi lebih serius dan terarah.
“Saya kira kelebihan pasokan listrik yang sejatinya ada mismatch antara perencanaan dan pelaksanaan proyek menjadi berkah di tengah krisis energi yang terjadi di berbagai negara. Target pertumbuhan ambisius 7 s/d 8 persen yang dicanangkan pemerintah ternyata melesat, karena realisasi permintaan listrik rendah dan pertumbuhan ekonomi melambat bahkan terkontraksi. Fakta ini harus mendorong pemerintah untuk serius melaksanakan transisi energi, meningkatkan porsi bauran EBT,” ujar Sjarifuddin dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Jumat (14/10/2022).
TARGET EBT
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2021, realisasi bauran EBT hanya mencapai 11,5 persen.
Hal ini masih sangat jauh dari target sebagaimana yang diatur dalam PP 79/2014.
Di situ disebutkan bahwa bahwa pada tahun 2025 setidaknya porsi EBT sebesar 23 persen dan 2050 setidaknya 31 persen.
Sejalan dengan ketentuan Perpres 112/2022, Pasal 3 ayat (3) mengamanatkan pemerintah menyusun peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU.
Ini berarti, energi bersih dan hijau memang tren dan keharusan global.
Dirinya kemudian menegaskan, energi terelektrifikasi menjadikan peran PLN menjadi kian strategis.
Ini akan sebanding dengan beban kinerja dan kemestian peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM.
Karena itu, PLN harus punya rencana kerja yang lebih terarah, sistematis, dan berkelanjutan memanfaatkan momentum kelebihan pasokan listrik ini.
Artinya, tantangan bauran EBT harus segera dikejar.
Justru jika kehilangan momentum, maka “berkah” kelebihan pasokan ini menjadi tidak berarti, rasio bauran energi akan tetap rendah, ketahanan energi menjadi kian rapuh.
“Saya kira kita mesti memanfaatkan keadaan yang ada sebaik mungkin. Sumber daya energi potensial yang melimpah, terutama potensi EBT di berbagai wilayah harus digenjot sesegera dan semasif mungkin. Ini bukan saja perkara tren global, namun juga fakta energi berbasis fosil semakin minim dan mahal. Langkah terbaik adalah mengerahkan segenap daya upaya untuk meningkatkan kemandirian energi nasional. Tantangan dan gejolak geoenergi semakin tidak berkepastian, ancaman krisis energi akan terus membayangi, dan kita harus berpijak pada sumber daya yang kita miliki sendiri,” pungkasnya.