BANDUNG: Program pemberdayaan perempuan di Jawa Barat terus diakselerasi sebagai bagian dari upaya untuk mendongrak kesejahteraan keluarga.
Program Sekoper Cinta atau Sekolah Perempuan Capai Impian dan Cita-cita menjadi harapan perempuan Jawa Barat untuk bisa berperan aktif mencapai kemajuan ekonomi.
Ketua Umum Sekoper Cinta Atalia Praratya Ridwan Kamil menuturkan, pentingnya pemberdayaan pendidikan perempuan guna mendongkrak kesejahteraan keluarga.
“Program ini merupakan sebuah proses dalam mendorong ekonomi melalui keterampilan,” kata Atalia, saat menjadi narasumber dalam Musyawarah Nasional 1 Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan Forum PLKP, di Savoy Homann Hotel, Kota Bandung, Rabu (27/7/2022), dikutip situs resmi Pemprov Jabar.
“Kenapa Sekoper Cinta hadir? Masih jadi PR yang luar biasa, perempuan harus diberikan ilmu dan pengetahuan. Maka hadirlah Sekoper Cinta hadir,” imbuhnya.
Menurut Atalia, Program Sekoper Cinta, sejauh ini tidak lepas dari dukungan semua pihak khususnya Forum PLKP.
“Di sinilah kerja sama kami dengan forum PLKP tentang program Sekoper Cinta yang telah menghasilkan lulusan 2.700. Alhamdulillah banyak sekali laporan dari 27 kabupaten/kota yang mereka sudah bisa membuka salon-salon kecil dan semacam “home care,” paparnya.
Atalia menyatakan program Sekoper Cinta bisa dibilang sukses. Meskipun memang prosesnya masih cukup panjang, dimulai dari mengajak para perempuan untuk membangun rasa ingin tahu tentang hal baru hingga menjadi bisa.
“Lebih kepada bagaimana mereka membangun keinginan dulu, dari tidak tahu menjadi tahu. Mereka harus belajar tentang suatu hal, dan mereka menjadi mau, dari tidak mau dan dari tidak bisa menjadi bisa,” pungkas Atalia.
KENAPA PERLU INOVASI
Pemprov Jabar memiliki Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB). Latar Belakang terbentuknya DP3AKB Provinsi Jawa Barat lahir karena berbagai persoalan yang terkait dengan perempuan, antara lain:
Masih rendahnya akses perempuan dalam pendidikan yang ditandai dengan masih rendahnya rata-rata lama sekolah perempuan dibandingkan dengan laki-laki,
rendahnya akses perempuan dalam bidang ekonomi,
derajat kesehatan perempuan yang masih rendah yang ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu melahirkan,
rendahnya akses perempuan dalam politik dan hukum, serta perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
Kondisi tersebut, akan berdampak terhadap terjadinya ketimpangan gender yang ditandai dengan masih rendahnya pencapaian indek pembangunan gender dan indek pemberdayaan gender.