Bandung, 26 Juli 2024 – Pernyataan dari United States Geological Survey (USGS) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan ‘golden places’ untuk proyek Carbon Capture Storage (CCS), memberikan peluang besar bagi negara ini untuk berkontribusi dalam mengatasi perubahan iklim.
Proyek ini melibatkan penangkapan dan pemisahan gas CO2 serta penyimpanannya kembali dalam lapisan batuan di bawah permukaan.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Muhammad Wafid, menjelaskan bahwa teknologi CCS sebenarnya bukanlah hal baru.
“Konsep CCS mirip dengan kegiatan hulu minyak dan gas bumi, yakni membutuhkan batuan reservoar seperti reservoar migas atau akuifer salin untuk menyimpan CO2. Selain itu, diperlukan batuan penutup yang dapat menahan gas CO2 agar tidak berpindah,” ujar Wafid dalam konferensi pers di Bandung, Jumat (26/7).
Wafid menambahkan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023 tentang CCS/CCUS dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Regulasi ini diharapkan dapat memudahkan kontraktor hulu migas dan pemangku kepentingan lainnya untuk menerapkan teknologi CCS/CCUS di Indonesia.
Badan Geologi, menurut Wafid, telah berperan dalam eksplorasi formasi batuan yang menjadi reservoar migas. Kini, Badan Geologi dihadapkan pada tantangan baru untuk menemukan dan mendata formasi-formasi batuan dengan potensi besar untuk menyimpan karbon.
“Saat ini, Badan Geologi sedang melakukan inventarisasi untuk menghitung potensi Carbon Capture Storage di Indonesia, terutama di cekungan sedimen frontier yang belum memiliki aktivitas hulu migas signifikan,” jelasnya.
Pengambilan data lapangan dimulai di Pulau Jawa pada tahun lalu, dilanjutkan ke Pulau Sumatera tahun ini, dan akan terus dilakukan di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Data tersebut nantinya akan disusun dalam Atlas Potensi CCS Indonesia.
Kepala Badan Geologi, Andy Setyo Wibowo, juga menyatakan bahwa CCS pada formasi geologi bawah tanah bukan satu-satunya cara untuk mereduksi emisi gas rumah kaca di Indonesia, namun dapat menjadi alternatif terbaik dari segi kapasitas, keamanan, biaya, dan waktu.
“Teknologi CCS bukan hal baru di Indonesia dan memiliki potensi besar untuk segera diterapkan pada formasi geologi bawah permukaan serta cekungan sedimen yang belum berproduksi,” pungkas Andy.