BANDUNG – Mudzakarah Perhajian Indonesia yang diselenggarakan di Bandung pada 7 hingga 9 November 2024 menghasilkan sejumlah keputusan penting terkait penyelenggaraan ibadah haji. Keputusan ini dibacakan oleh Dr. KH Aris Ni’matullah dari Pesantren Buntet Cirebon pada upacara penutupan acara tersebut. Mudzakarah ini diikuti oleh berbagai ahli fikih, akademisi, praktisi haji, serta para pejabat Kemenag, termasuk Kepala Kanwil Kemenag dan Kepala Bidang pada Kanwil Kemenag Provinsi.
Tiga isu utama yang dibahas dalam Mudzakarah ini antara lain adalah hukum penggunaan nilai manfaat hasil investasi dana setoran awal (BPIH) untuk membiayai ibadah haji jemaah lainnya, skema tanazul (meninggalkan) mabit di tenda Mina, dan hukum penyembelihan serta distribusi hewan dam di luar tanah haram.
Hasil Investasi Boleh Digunakan untuk Biayai Jemaah Lain
Salah satu keputusan penting yang diambil adalah tentang hukum memanfaatkan hasil investasi dari setoran awal BPIH calon jemaah haji untuk membiayai ibadah haji jemaah lainnya. KH Aris Ni’matullah menyatakan bahwa penggunaan hasil investasi ini adalah mubah atau diperbolehkan, dengan catatan bahwa besaran pemanfaatan dana harus didasarkan pada kemaslahatan bagi jemaah haji masa tunggu (waiting list) dan jemaah yang berangkat pada tahun berjalan.
“Presentase pemanfaatan hasil investasi harus memastikan keberlanjutan dana haji dalam jangka panjang, sehingga dapat menjamin hak-hak jemaah haji daftar tunggu dan memberikan keringanan bagi jemaah yang berangkat pada tahun berjalan,” ujar KH Aris Ni’matullah.
Menurutnya, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memiliki kewenangan penuh dalam mengelola dana setoran awal BPIH, dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip syari’ah, kehati-hatian, dan kemaslahatan yang terukur.
Tanazul di Mina Diperbolehkan untuk Jemaah dengan Kondisi Tertentu
Mudzakarah juga membahas kebijakan terkait skema tanazul (meninggalkan) mabit di Mina. Keputusan yang diambil menyatakan bahwa untuk mengurangi kepadatan di Mina serta memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi jemaah yang sakit, lansia, memiliki resiko tinggi, disabilitas, serta pendamping dan petugas, mereka diperbolehkan meninggalkan Mina dan kembali ke hotel di Makkah.
“Jemaah yang sakit, lansia, resiko tinggi, disabilitas, pendamping, dan petugas yang mengurus jemaah adalah berstatus udzur, sehingga ketika mereka meninggalkan (tanazul) mabit di Mina, hajinya tetap sah dan tidak dikenakan dam,” jelas KH Aris Ni’matullah.
Penyembelihan Dam di Luar Tanah Haram Diperbolehkan
Terkait dengan pelaksanaan dam (penebusan) bagi jemaah haji, Mudzakarah Perhajian Indonesia juga memutuskan bahwa penyembelihan dan distribusi hewan dam di luar tanah haram, termasuk di Indonesia, adalah boleh dan sah. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengelolaan dam bagi jemaah yang tidak dapat melaksanakan di tanah haram.
Mudzakarah juga merekomendasikan agar pemerintah membuat pedoman terkait tata kelola dam jemaah haji, termasuk aturan mengenai penyembelihan dan pembagian daging hadyu/dam di luar tanah haram.
“Pemerintah perlu menyosialisasikan hasil putusan ini kepada jemaah haji melalui berbagai forum pertemuan dan bimbingan manasik haji, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH). Jemaah dan petugas haji dapat mempedomani ketentuan penyembelihan dan pembagian daging hadyu/dam di luar tanah haram, termasuk di tanah air,” tandas KH Aris Ni’matullah.
Dengan keputusan-keputusan ini, diharapkan pelaksanaan ibadah haji bagi jemaah Indonesia di masa mendatang dapat berjalan lebih lancar, aman, dan sesuai dengan prinsip syari’ah, serta memenuhi kebutuhan jemaah yang semakin beragam.