Pemerintah terlalu mudah memberikan remisi di hari-hari besar.
SATUJABAR, JAKARTA – Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief mengkritisi terkait pemberian remisi atau peringanan hukuman terhadap terpidana kasus korupsi. Padahal, pernyataan presiden Prabowo Subianto menyebut koruptor harus divonis berat dengan 50 tahun masa tahanan.
Demikian disampaikan Laode di Menteng, Selasa (28/1/2025). Saat itu, Laode merespon pertanyaan awak media apakah UU Tipikor soal masa hukuman 20 tahun penjara perlu direvisi atau tidak.
Pihaknya menjelaskan, bahwa sebenarnya sudah ada peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang mengatur soal pemberian masa tahanan. Namun, dia menegaskan, yang terpenting adalah soal penegakan hukum yang konsisten.
“Itu sebenarnya, hukuman kita itu, sudah tinggi banget. Bahkan ada hukuman mati kalau dia mengulang. Cuma kamu bandingkan dengan hukum Singapura. Hukum antikorup Singapura itu yang paling tinggi 7 tahun. Jadi, nggak perlu ditambahin sampai 50 tahun menurut saya,” katanya.
“Yang paling penting adalah penegakan yang konsisten, terus dilakukan seperti itu. Jadi kalau soal hukumannya, maksimum 20 tahun itu,” katanya menambahkan.
Pihaknya pun mengkritisi pemberian remisi dengan mencontohkan apabila ada terpidana korupsi dihukum 10 tahun, namun sudah bebas setelah 3 tahun.
“Ini masalahnya begini sekarang, dihukum 10 tahun. Baru 3 tahun dia jalanin sudah keluar gara-gara remisi itu yang ada,” katanya.
Pihaknya pun menyinggung bahwa sebelumnya, belum ada kebijakan pemberian remisi. Dia pun mengatakan, pemerintah terlalu mudah memberikan remisi di hari hari besar.
“Kalau dulu kan sebelum ada diubah peraturan pemerintahnya, waktu itu kan tidak ada remisi untuk tindakan korupsi. Sekarang jadi ada. Akhirnya dapat 5 tahun, baru 2,5 tahun sudah bebas lagi,” katanya.
“Yang kayak begini-begini. Kalau di luar negeri, sekurang-kurangnya 2 per 3 menjalani hukuman, baru bisa dibicarakan apakah dia berkelakuan baik atau apa. Bukan Lebaran dapat, Natal dapat, Hari Kemerdekaan dapat,” katanya.
Pihaknya pun menilai pemberian remisi tersebut juga rawan tindakan korupsi. Pasalnya, ia mengaku pernah mendengar adanya jual beli masa remisi.
“Akhirnya semuanya seperti itu. Dan itu menjadi sangat korup juga. Dan itu jadi bisa dibeli remisi-remisi. Mau dapat revisi 10 hari, 1 bulan, 6 bulan. Dengar-dengar itu terjadi juga,” katanya. (yul)