BANDUNG: Kasus HIV/AIDS di Kota Bandung terlihat seperti fenomena gunung es sehingga upaya deteksi terhadap pengidap dapat membantunya lebih sehat dan produktif.
Menurut Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Bandung Ira Dewi Jani stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat terhadap para pengidap HIV/AIDS semakin menyulitkan penanganan.
“Semakin cepat penyakit ini bisa dideteksi, maka harapan hidup sehat dan produktif bagi para pengidap HIV/AIDS bisa semakin tinggi,” katanya dikutip situs Pemkot Bandung.
Dia mengatakan meskipun tidak bisa sembuh, tapi bisa berkurang sampai tidak bisa terdeteksi atau undetectable. Kalau tidak terdeteksi, dia tidak bisa menular.
“Makanya kita mesti cari yang HIV/AIDS karena kalau tidak, nanti terlihatnya seperti fenomena gunung es,” ucapnya.
Baginya, stigma negatif tentang HIV/AIDS membuat para tenaga kesehatan sulit mendeteksi secara dini.
Padahal, jika bisa dideteksi secara dini, masih ada kesempatan agar seseorang tidak masuk ke fase AIDS.
“Jangan sampai ada yang meninggal karena sudah masuk fase AIDS. Semoga kita sudah bisa menemukan dan mengobati dari fase HIV saja,” katanya dikutip situs Pemkot Bandung.
Penyakit HIV/AIDS, jelas Ira, meski bisa diobati, tapi pengidapnya tak akan pernah sembuh.
Jika seseorang telah terdiagnosa HIV dan tercatat, serta terlaporkan dalam Sistem Informasi HIV (SIH), maka datanya akan terus ada sampai meninggal. Sehingga jumlah kasusnya termasuk kumulatif.
PENDATAAN
Dinkes terus mengumpulkam kasusnya dari 1991-2021.
Jumlah total kasusnya sampai dengan Desember 2021 mencapai 5.843.
Sebanyak 6,97 persen adalah mahasiswa atau terdapat 407 kasus selama 30 tahun.
Jika dirata-ratakan per tahun, kasus HIV/AIDS di Kota Bandung mencapai 300-400 kasus.
Paling banyak faktor risikonya yakni hubungan heteroseksual.
Dari data yang dikumpulkan Dinkes Kota Bandung sepanjang 30 tahun terakhir, usia paling banyak yang terkena HIV/AIDS adalah 20-29 tahun.
HIV ini perjalanan penyakitnya 3-10 tahun. Kalau daya tahan tubuhnya tidak baik, 3 tahun sudah menunjukkan gejala ke arah AIDS.
Kalau daya tahan tubuhnya bagus, baru bisa kelihatannya 10 tahun kemudian.
Meski begitu, sebenarnya ada faktor lain yang menyebabkan kasus HIV/AIDS bisa terjadi.
Selain seks bebas dan penyalahgunaan napza, penularan dari ibu ke anak, serta tenaga medis yang mengalami kecelakaan kerja juga menjadi salah satu faktornya.
“Orang itu baru bisa didiagnosa HIV setelah dia melakukan tes karena tidak ada tanda dan gejala spesifik bagi orang yang terkena HIV. Namun, biasanya para pengidap ini malu untuk tes HIV/AIDS,” tutur Ira.
Oleh karena itu, stigma dan diskriminasi harus dihilangkan agar seseorang itu mau untuk dites HIV.
Ia menuturkan, dengan demikian orang tersebut bisa hidup lebih produktif dan tidak masuk ke fase AIDS.
Mata rantainya bisa diputus dengan pengobatan.
Pengobatan HIV/AIDS telah dijamin oleh pemerintah. Sehingga, Ira berpesan, jangan sampai para pengidap HIV/AIDS merasa seperti divonis mati.