JATINANGOR, Sumedang- Di tengah gemerlap Jatinangor Town Square (Jatos), sorotan lampu panggung jatuh pada sebelas anak muda yang berdiri tegap, bersiap menari. Bukan sekadar pertunjukan biasa. Bagi mereka, ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang: membawa seni Sunda ke pentas nasional.
Langkah-langkah mereka mantap. Gemulai tubuh mengikuti irama yang menggelegar — sebuah tarian kreasi bernama Eak-Eakan, lahir dari rahim seni jalanan Reak, kini disulap menjadi tontonan yang tak hanya memukau mata, tapi juga membangkitkan rasa bangga akan budaya sendiri.
Mereka adalah bagian dari Sanggar Seni Jamparing Parikesit, duta seni unggulan Kabupaten Sumedang. Malam itu, mereka menegaskan satu hal: bahwa tradisi bukan barang kuno yang ditinggalkan, melainkan pusaka yang hidup di dada generasi muda.
Di antara penonton, berdiri dua sosok penting: Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir dan Wakil Bupati Fajar Aldila. Wajah mereka penuh kekaguman.
“Anak-anak ini luar biasa. Mereka tampil total, penuh semangat, dan membuktikan bahwa seni tradisional masih hidup di hati generasi muda,” ujar Bupati Dony, tak menyembunyikan rasa bangganya.
Di balik koreografi yang presisi dan ekspresi yang penuh nyawa, ada tangan dingin seorang koreografer: Hety, sosok yang pernah menangani 5.000 penari Tari Umbul dalam pertunjukan kolosal tahun 2018. Sejak Januari 2025, Hety sudah menyiapkan anak-anak ini. Latihan demi latihan, keringat, luka kaki, dan air mata, semuanya menjadi bagian dari proses panjang menuju Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVII 2025.
“Kami sangat bangga bisa mewakili Sumedang. Ini bukan sekadar kompetisi, tapi kesempatan besar untuk menunjukkan kekayaan budaya Sunda di panggung nasional,” tutur Hety, penuh semangat.
Tanggal 28 Juni 2025 nanti, mereka akan menari di panggung bergengsi: Kalangan Ayodya, Taman Budaya Denpasar. Di sana, mereka tak hanya akan menari, tapi membawa nama Sumedang, membawa cerita tentang Sunda, dan membawa harapan bahwa seni tradisi bisa terus bernapas di zaman yang serba cepat.
Apresiasi juga datang dari pihak Jatos. Chandra Tembayong, perwakilan manajemen, menegaskan kebanggaannya terhadap konsistensi sanggar ini.
“Sejak 2010 mereka sudah tampil di sini dan terus berkembang. Saya bahkan sudah membooking mereka untuk tampil di Bandung dan Jawa Tengah,” katanya.
Jamparing Parikesit bukan sekadar sanggar seni. Mereka adalah penjaga budaya. Penjaga mimpi. Penari yang menolak menyerah pada zaman, dan justru menantangnya dengan gerakan yang anggun, kuat, dan penuh makna.
Malam itu, bukan hanya Tari Eak-Eakan yang menari. Tapi juga masa depan kesenian Sunda — menari di ujung mimpi, menuju panggung nasional.
Sumber: Pemkab Sumedang, Diolah