SATUJABAR, BANDUNG–Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, mendapat tingkat kepuasan publik sangat tinggi 94,7 persen, hasil survei Indikator Politik Indonesia. Founder sekaligus Peneliti Utama Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai, tingginya popularitas Dedi Mulyadi saat ini, tidak bisa dijelaskan hanya dengan istilah populisme.
Berdasarkan hasil survei terbaru yang dirilis Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, tingkat approval Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi, paling tinggi dibanding Gubernur lain di Pulau Jawa. Dedi Mulyadi mendapat tingkat kepuasan publik 94,7 persen.
Founder sekaligus Peneliti Utama Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai, tingginya popularitas Dedi Mulyadi, tidak bisa dijelaskan hanya dengan istilah populisme. Menurutnya, populisme itu ideologi, satu anti elite, dan cenderung pro secara umum.
“Masalahnya, beberapa statemen terkait kebijakan Dedi Mulyadi, sebenarnya tidak populis,” ujar Burhanuddin, dalam rilis hasil surveinya terkait evaluasi publik atas kinerja 100 hari Gubernur dan Wakil Gubernur di Pulau Jawa, Kamis (29/05/2025).
Burhanuddin mencontohkan, program yang sempat diwacanakan Dedi Mulyadi terkait pemberian bantuan sosial (bansos), syaratnya harus mengikuti program KB, atau vasektomi bagi pria. Kebijakan tersebut tidak populis, karena masyarakat kalangan menengah ke bawah sebagai penerima bansos, justru merasa tidak senang.
“Misalnya program KB, atau vasektomi bagi pria, jika mau menerima bansos, itu tidak populis, menurut saya. Penerima bansos kalangan menengah ke bawah merasa tidak senang. Poin saya, tidak seluruh kebijakan, atau statemen Dedi Mulyadi, populis,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin juga menyebut, Dedi Mulyadi memiliki intuisi cukup tajam. Dalam intuisinya, Dedi Mulyadi menganggap apa yang dilakukannya adalah paling benar, dan terbaik bagi warga Jabar yang dipimpinnya.
Bahkan, Dedi Mulyadi seakan tidak mempedulikan kontroversi yang terjadi merespon kebijakannya. Dedi memiliki keyakinan kuat mempertahankannya.
“Melihat secara jauh, Dedi Mulyadi memiliki semacam intuisi, bahwa apa yang diakukannya itu benar. Jadi, punya keyakinan paling mengetahui apa yang baik dan terbaik buat warganya,” ungkap Burhanuddin.
Dedi mulyadi memiliki ‘judgement’ terlepas dari segala kontroversi-nya, dieksekusi dengan segala plus minusnya. Plusnya, Dedi Mulyadi memiliki keyakinan cukup tinggi, minusnya, delibratif kurang.
Burhanuddin juga menilai, Dedi Mulyadi yang memiliki latarbelakang aktivis dan politisi matanh, sangat berpengaruh terhadap kemampuannya membangun kedekatan dengan publik, hingga mendapat tingkat kepuasan tinggi.
Dedi Mulyadi memiliki jejak panjang, mulai dari anggota DPRD, Wakil Bupati, Bupati Purwakarta dua periode, sempat kalah di Pilkada Jabar 2018, lalu jadi anggota DPR RI. Petarung yang memiliki pengalaman berani bertarung, menang, dan kalah.
Kinerja Pemprov Jabar Timpang
Tingkat kepuasan terhadap Dedi Mulyadi, hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia, timpang dengan kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar di berbagai bidang. Masyarakat Jabar mengapresiasi kepemimpinan Dedi Mulyadi, namun berbeda penilainnya terhadap kinerja Pemprov Jabar, hasil surveinya tidak sejalan.
Beberapa poin kurang meyakinkan evaluasi publiknya, selain masalah kemiskinan 42 persen cukup, atau sangat puas, masalah kemudahan akses permodalan 43 persen, pembinaan koperasi 43 persen, dan peningkatan kualitas tenaga kerja 47 persen. Tingkat kepuasan dan penerimaan publik terhadap Dedi Mulyadi, sangat mencolok.
Menurut Burhanuddin, warga Jabar cenderung memisahkan penilaian terhadap institusi pemerintah dengan figur pemimpinnya. Terjadi ‘gape’ dalam penilaian publik terhadap kinerja pemimpin, dalam hal ini Gubernur, dan kinerja Pemprov Jabar.
“Jabar menarik, persepsi terhadap Gubernur Dedi Mulyadi sangat positif, tapi kinerja Pemprov Jabar di beberapa isu di bawah 50 persen. Artinya, warga Jabar memberi kredit kepada Dedi Mulyadi sebagai Gubernur, tetapi kinerja Pemprov-nya tidak seluruhnya diapresiasi,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin menjelaskan, ‘gap’ persepsi dalam kasus-kasus serupa, tidak hanya terjadi di Jabar. Di beberapa Provinsi lain, fenomena serupa juga muncul, meski tidak setajam di Jabar.
Ada faktor partisan yang berperan dalam mempengaruhi persepsi publik. Selain itu, terdapat kecenderungan publik hanya memuja pemimpinnya, dengan mengabaikan penilaian kinerja institusinya.
“Menurut saya, ini kurang positif untuk demokrasi kita. Jangan sampai yang terjadi memunculkan kultus. Maka, apabila terjadi penilaian atas kinerja institusi tidak positif, pemimpinnya harus bertanggungjawab,” tutup Burhanuddin.(chd).