SATUJABAR, BANDUNG – Jika menyebut nama Cimahi, tentu sebuah nama kota itu tidak asing lagi di kawasan Jawa Barat. Kota yang memiliki perjalanan sejarah identik dengan nuansa militer, menjadikan kota ini dijuluki sebagai ‘Kota Tentara’ atau ‘Kota Militer’.
Dalam bahasa sunda, Cimahi terdiri dari dua suku kata. Ci berarti air dan Mahi artinya cukup. Menjadi makna kota dengan air yang cukup. Kota Cimahi yang saat ini hanya memiliki tiga kecamatan, dengan slogan Saluyu Ngawangun Jati Mandiri. Artinya, Kota Cimahi harus Berjalan harmonis serasi dengan selaras, bahu membahu dalam membangun citra diri yang mandiri dalam kemajuan.
Dalam sejarahnya, Cimahi pernah menjadi tempat pertempuran besar untuk melawan Belanda. Keberadaan markas dan dan pusat pendidikan (pusdik) militer di Cimahi menjadi saksi bisu perjalanan pada masa penjajahan Belanda. Kota kecil yang berada di sebelah barat Kota Bandung ini erat dengan sejarah sejak masa kolonialisme.
Daendels
Jendral Herman William Daendels kemudian membuat jalan Anyer-Panarukan di masa pemerintahannya tahun 1811. Cimahi menjadi dikenal atas dibangunnya jalan oleh Gurbernur Daendels saat itu. 1874-1893 dilaksanakan kembali jalan kereta api Bandung-Cianjur sekaligus pembuatan Stasiun Cimahi yang digunakan untuk keperluan logistik, dan 1986 dimulainya pembangunan pusat militer beserta fasilitas lainnya.
Bahkan tempat yang sekarang menjadi Maporles Cimahi, dulunya sebagai tempat pabrik senjata. Di tempat itu, terjadi pertempuran yang melibatkan Kompi Abdul Hamid, Banteng Rakyat, serta laskar yang lainnya.
Pertempuran
Pejuang Indonesia terus berusaha yang kala itu sedang memperjuangkan haknya untuk wilayah Cimahi di sekitar tahun 1945-1946, saat itu pejuang Indonesia harus melindungi diri dari pertempuran, mengungsi ke daerah selatan karena pusat wilayah Cimahi berhasil dikuasai Belanda di tahun 1947-1949.
Pertempuran besar yang pernah mengukir sejarah militer di Cimahi diantaranya pertempuran Tagog, Babakan Santri (Gunung Bohong), Alun-alun, Cimindi, dan pertemuran Baros.
Dari pertempuran besar, banyak peninggalan Belanda yang mengukir sejarah militer di Cimahi, antara lain ada Gedung The Historich di Jalan Gatot Subroto, Stasiun Cimahi sebagai sarana pengangkutan logistic militer dari Batavia ke Cimahi, dan Rumah Sakit Dustira yang menjadi rumah sakit rujukan bagi tawanan tentara Belanda dan perawatan tentara Jepang pada masa kependudukan Jepang di tahun 1942-1945 yang akhirnya bangunan itu dikuasai kembali oleh NICA Belanda dan berhasil kembali diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.
Pada saat Indonesia masih berada ditangan otoriter Belanda, dengan dijadikannya Cimahi sebagai pangkalan militer tersebut, menjadikan penempatan tentara yang berskala besar baik Tentara Belanda maupun Tentara Hindia Belanda yang perwiranya berasal dari Flores, Timor, Ambon, Manado, dan Jawa. Namun, perwiranya tetap dari Belanda dan Eropa.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan wilayah, Kota Cimahi pada masa sejarah pernah menjadi Kota Administratif yang berada di wilayah Kabupaten Bandung. Hal itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi Derah serta PP No 29 Tahun 1975 tentang Pembentukan Kota Administratif.
Tak lama Cimahi menjadi Kota administrasi yang pertama di Jawa Barat, pembentukan Kota Cimahi sebagai Kota Administrarif disudahi pada 21 Juni 2001. Cimahi dialihkan menjadi Kota otonom dengan pemerintahan sendiri.
Dari beralihnya menjadi kota otonom, Cimahi berkembang begitu pesat termasuk dalam peningkatan penduduk. Jumlah penduduk mengalami peningkatan dari 290.2022 jiwa pada 1990, mencapai 561.386 di tahun 2014. Serta tercatat di tahun 2019 ada 614.304 penduduk dan terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 2,12 persen pertahun.