BANDUNG – SPK fiktif Kemenperin menjadi perhatian serius jajaran kementerian untuk senantiasa berhati-hati mengawal kasus tersebut.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan bahwa mereka tidak akan membayar dana yang telah diberikan oleh vendor kepada oknum mantan Aparat Sipil Negara (ASN) berinisial LHS, maupun dana yang digunakan untuk kegiatan yang didasarkan pada Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif. LHS, yang sebelumnya menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin, dicopot dari jabatannya karena diduga menerbitkan SPK fiktif.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut. Pertama, dana yang diberikan oleh vendor kepada LHS atau yang digunakan untuk kegiatan berbasis SPK fiktif tidak sah. Kedua, kesalahan vendor yang tidak cermat dalam mempelajari keabsahan SPK tersebut turut menyebabkan kerugian bagi mereka.
“Apabila Kemenperin membayar dana yang keluar berdasarkan SPK fiktif dengan menggunakan anggaran tahun 2025, itu berarti anggaran tersebut digunakan tidak sesuai peruntukkannya, dan bisa dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, bahkan berindikasi tindak pidana korupsi. Kami tidak ingin melanggar hukum atau melakukan korupsi hanya demi membayar vendor-vendor tersebut. Kami antikorupsi!” tegas Febri yang sebelumnya merupakan aktivis antikorupsi.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, menurut Febri, tidak terpengaruh oleh tekanan atau gertakan dari pihak-pihak tertentu yang meminta Kemenperin untuk membayar dana tersebut. Menperin, yang pertama kali mengungkapkan masalah ini melalui konferensi pers pada 6 Mei 2024, berkomitmen untuk melakukan bersih-bersih di internal Kemenperin agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
“Menperin memandang kejadian ini sebagai kesempatan untuk melakukan perbaikan dalam pelaksanaan anggaran di Kemenperin. Semua pelaksana anggaran, termasuk PPK, harus bekerja sesuai dengan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang berlaku,” ujar Febri.
Kemenperin juga menyatakan akan melaporkan kasus dugaan SPK fiktif ke aparat penegak hukum pada 11 Februari 2025 dan meminta agar kasus ini segera diusut tuntas. “Kami berharap proses hukum berjalan cepat, untuk memberikan kepastian hukum kepada seluruh pihak terkait,” tegasnya.
LHS, yang telah diberhentikan dari jabatannya pada 15 Februari 2024, diketahui telah menerbitkan 21 SPK fiktif dengan total nilai lebih dari Rp4,325 miliar setelah dicopot. Kemenperin memegang bukti penyerahan dana dari beberapa vendor kepada LHS, yang diduga digunakan sebagai biaya operasional untuk kegiatan yang tidak sah.
“Pemberian dana oleh vendor kepada PPK atau ASN merupakan pelanggaran hukum dan berpotensi sebagai tindak penyuapan. Kami memegang bukti kuat terkait hal ini,” ungkap Febri melalui keterangan resmi.
LHS yang kini berstatus tersangka dan telah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO), juga mengajukan gugatan terhadap beberapa pejabat Kemenperin atas pemberhentiannya yang dianggap tidak sah. Selain itu, istri LHS yang bekerja sebagai ASN di Kemenperin juga sedang dipertimbangkan untuk mendapatkan hukuman disiplin lebih lanjut setelah sebelumnya dikenakan penurunan pangkat.
Kemenperin menegaskan komitmennya untuk memastikan semua proses dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, serta memperkuat sistem pengawasan internal untuk mencegah terjadinya praktik serupa di masa depan.