SATUJABAR, KOREA — Delegasi Indonesia, yang mendapatkan pelatihan intensif dari nol selama enam bulan di Gasing Academy di bawah bimbingan ilmuwan Prof. Yohanes Surya, berhasil membawa pulang dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu.
Tim coding Indonesia meraih prestasi gemilang di ajang Coding World Innovative Technology Challenge 2024 yang diselenggarakan pada 2-3 November di Chonnam National University, Yeosu-si, Korea. Mereka berhasil membawa pulang dua medali emas, satu perak, dan tiga perunggu.
“Tim ini dilatih selama enam bulan dari nol, yakni seminggu dua kali selama 3-4 jam per hari,” ujar Budi Chang, Ketua Delegasi Indonesia.
Budi mengungkapkan bahwa tim Indonesia yang berhasil meraih prestasi di kompetisi ini harus memenuhi berbagai kriteria penilaian yang ketat.
Kriteria tersebut meliputi efektivitas program yang dijalankan, tingkat orisinalitas—apakah proyek tersebut menggunakan bantuan kecerdasan buatan atau tidak—serta aspek kreativitas yang ditampilkan dalam karya mereka.
Negara lain yang turut berpartisipasi dalam ajang ini adalah Filipina dan Korea. “Peserta dari negara lain merasa terkejut ketika mengetahui Indonesia bisa meraih medali emas dengan waktu pelatihan yang sangat singkat,” ujarnya.
Budi menambahkan bahwa yang menjadikan kemenangan ini lebih istimewa adalah fakta bahwa anak-anak yang mewakili Indonesia dalam kompetisi ini adalah putra-putri dari daerah yang sebelumnya mengalami kesulitan dalam hal perhitungan.
Setelah mendapatkan pelatihan dari Gasing Academy yang dipimpin oleh ilmuwan Indonesia Prof Yohanes Surya, mereka berhasil menunjukkan kemampuan yang luar biasa.
Dalam proses pembinaan, Gasing Academy telah memberikan pelatihan matematika selama 10 bulan, bersamaan dengan pelatihan coding yang berlangsung selama enam bulan. Budi menjelaskan, “Kemampuan matematika mereka kini telah mencapai tingkat SMA, padahal mereka masih di jenjang SD dan SMP.”
Di antara anak-anak Indonesia yang berpartisipasi dalam kompetisi ini adalah Felicia Dahayu dari Banyuwangi, Jawa Timur, Jose Norotouw dari Jayapura, Cressya Wianopa dari Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Esra Samuel Weyai dari Biak Numfor, Papua, Uril Algifari dari Halmahera Tengah, Maluku Utara, serta Fanita Tenouye dari Nabire, Papua Tengah. (nza)