BANDUNG: RUU EBET sejatinya sudah menjadi undang-undang sebelum event G20 mendatang.
Tetapi Surat Presiden tentang RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang dilayangkan ke DPR tidak disertai dengan penyerahan Daftar Inventaris Masalah (DIM).
Anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti berharap RUU tersebut menjadi U) sebelum perhelatan G20 November 2022.
“Ini merupakan hambatan tersendiri bagi kami untuk melanjutkan pembahasan RUU,” katanya dikutip situs DPR, Jumat (14/10/2022).
Menurutnua, jika RUU disahkan sebelum perhelatan G20, maka terbuka forum kerja sama multilateral 19 negara utama dan Uni Eropa (EU).
Yang salah satu goal utamanya adalah transisi energi.
Indonesia, khususnya DPR berkeinginan mendorong transisi dari energi fosil ke energy ramah lingkungan.
Salah satunya lewat dukungan kebijakan berupa UU EBET.
Dijelaskan politisi dari Fraksi Partai Golkar ini, energi fosil memang menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak bagi lingkungan.
Terutama emisi karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil.
Meski demikian, saat ini sekitar 80 persen industry Indonesia mengandalkan bahan bakar energi fosil.
ENERGI HIJAU
Namun dengan niat dan tekad yang kuat Ia optimis bahwa perlahan Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Sehingga bisa seutuhnya terlepas dari fosil, baik secara ekonomi maupun secara kebutuhan energi.
Bahkan belakangan Indonesia juga sudah mulai menjalankan ekonomi hijau.
Ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa harus merusak lingkungan, alias ekonomi yang ramah lingkungan.
“Kalau target penyelesaian RUU EBET ini, kembali saya sampaikan, bahwa kami di DPR masih menunggu DIM dari pemerintah, agar bisa dilakukan pembahasan. Jika target penyelesaian RUU ini tidak tercapai pada November mendatang, jangan salahkan kami, jangan salahkan DPR,” katanya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2021, realisasi bauran EBT hanya mencapai 11,5 persen.
Hal ini masih sangat jauh dari target sebagaimana yang diatur dalam PP 79/2014, bahwa pada tahun 2025 setidaknya porsi EBT sebesar 23 persen dan pada 2050 setidaknya 31 persen.
Sejalan dengan ketentuan Perpres 112/2022, Pasal 3 ayat (3) mengamanatkan pemerintah menyusun peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU. Ini berarti, energi bersih dan hijau memang tren dan keharusan global.