• Berita
  • Tutur
  • UMKM
  • Gaya Hidup
  • Sport
  • Video
Minggu, 26 Oktober 2025
No Result
View All Result
SATUJABAR
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media
No Result
View All Result
SATUJABAR
No Result
View All Result

Ruang Publik Digital Didominasi Buzzer, Akademisi Indonesia Perlu Rebut Panggung Narasi

Editor
Minggu, 19 Oktober 2025 - 07:02
Smart City Garut

Digital (pexels.com)

SATUJABAR, JAKARTA – Pakar analisis media sosial menyoroti absennya peran akademisi dalam membentuk narasi di ruang publik digital Indonesia. Bahasan tersebut disampaikan oleh Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia yang menjadi salah satu pembicara inti pada gelaran The 2025 International Conference on Computer, Control, Informatics and Its Application (IC3INA). Kegiatan yang dihelat di Ballroom BRIN Gatot Subroto Jakarta, Rabu (15/10) ini diprakarsai oleh Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OR EI) BRIN.

Dalam paparannya bertajuk “Siapa Pemilik Narasi? Data, Disinformasi, dan Hilangnya Suara Akademisi” Fahmi menekankan bahwa ranah media sosial telah menjadi medan pertempuran narasi yang didominasi oleh buzzer dan bot. Sementara suara akademisi yang berbasis data dan kebenaran justru “hilang” dan tertinggal di balik jurnal-jurnal ilmiah.

Dikutip dari laman BRIN, dalam presentasinya, Ismail menjelaskan hasil analisis jaringan sosial (Social Network Analysis) yang membandingkan aktivitas digital antara Universitas-Universitas terkemuka di Amerika Serikat (AS), seperti Harvard, MIT, dan Stanford, dengan tiga universitas besar di Indonesia (UI, ITB, dan UGM).

Ditemukan adanya perbedaan aktivitas digital dari Universitas-Universitas di AS dan Indonesia. Pada Universitas di AS, jejaring akun institusi dan akademisi sangat aktif. Pembahasan yang dibangun bersifat global, mencakup isu-isu kritis seperti COVID-19, politik internasional, dan penemuan sains. Akademisi AS, seperti yang terlihat pada masa pandemi menjadi “influencer” pengetahuan yang aktif berdebat dan mengedukasi publik di media sosial.

Sedangkan Universitas Indonesia, keterlibatan di media sosial sangat minim dan cenderung bersifat institusional atau lokal. Hasil analisis Drone Emprit menunjukkan bahwa jejaring diskusi seputar Universitas Indonesia justru sangat dekat dengan isu politik. “Universitas kita tidak memiliki naratifnya sendiri di media sosial. Kita hanya ditarik oleh buzzer dan isu politik ke dalam naratif mereka,” tegas Ismail.

Ia mengakui adanya kendala yang membuat akademisi enggan bersuara, termasuk ketakutan kekerasan politik, tekanan institusional, hingga risiko hukum dan reputasi. Untuk mengatasi ini, ia menawarkan strategi komunikasi yang aman dan konstruktif bagi akademisi. Yaitu, fokus pada data bukan politik, mengadopsi jurnalisme konstruktif, dan memanfaatkan Artificial Intelligence (AI).

Fahmi menyerukan “Jika kita akademisi dan peneliti tetap menjadi penonton, maka siapa yang akan menjadi pemandu intelektual publik berbasis data? Data harus berada di ruang publik, bukan hanya di jurnal dan kelas”, ujarnya.

Ia berharap forum akademik dapat menjadi kekuatan intelektual publik dengan memastikan hasil penelitian memiliki tujuan ganda yaitu, literasi sains dan informasi real-time bagi masyarakat.

Tags: BRINRuang Publik Digital

Category

  • Berita
  • Gaya Hidup
  • Headline
  • Opini
  • Pilihan
  • Sport
  • Tutur
  • UMKM
  • Uncategorized
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2022 SATUJABAR.COM

No Result
View All Result
  • Berita
  • Tutur
  • UMKM
  • Gaya Hidup
  • Sport
  • Video

© 2022 SATUJABAR.COM

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.