BANDUNG – Kementerian Perdagangan menegaskan komitmennya untuk memperkuat industri lada nasional dalam peringatan Hari Lada Internasional 2025 yang diselenggarakan oleh International Pepper Community (IPC) di Hotel Pullman, Jakarta, pada Senin (28/4). Acara ini turut dihadiri para pejabat kementerian dan lembaga terkait, serta eksportir lada dari berbagai daerah di Indonesia.
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono, menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan ketahanan dan daya saing industri lada di tengah berbagai tantangan global.
“Peringatan Hari Lada Internasional adalah bentuk penghargaan atas pentingnya lada, tidak hanya sebagai komoditas perdagangan tetapi juga sebagai bagian dari warisan sejarah dan budaya dunia. Pemerintah Indonesia akan terus memperkuat ketahanan industri lada nasional,” ujar Djatmiko melalui keterangan resmi.
Ia menambahkan bahwa industri lada menghadapi tantangan nyata, seperti ketegangan perdagangan global, dinamika geoekonomi, isu keberlanjutan, dan peningkatan ekspektasi pasar. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan organisasi internasional menjadi sangat penting.
Djatmiko juga menyoroti peran strategis IPC sebagai fasilitator perdagangan lada dunia, sekaligus sebagai platform penting untuk dialog kebijakan, penyediaan data strategis, dan penguatan ketahanan industri lada kawasan. Dalam kesempatan itu, ia juga memberikan apresiasi kepada Direktur Eksekutif IPC periode 2021–2025, Firna Azura Ekaputri Haji Marzuki (Malaysia), dan menyambut Direktur Eksekutif IPC periode 2025–2028, Marina Novira Anggraini (Indonesia).
“Kami berharap kepemimpinan baru ini membawa semangat inovasi dan perluasan pasar global bagi komoditas lada,” ucap Djatmiko.
Indonesia saat ini menempati posisi ketiga sebagai negara produsen lada terbesar di dunia dengan luas lahan mencapai 163 ribu hektare. Pada 2024, nilai ekspor lada Indonesia mencapai lebih dari USD 311 juta, meningkat 105,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meski demikian, industri lada nasional masih menghadapi sejumlah kendala seperti rendahnya produktivitas akibat pohon tua, serangan penyakit tanaman, dan terbatasnya fasilitas pengolahan.
Dalam sesi diskusi, Direktur Perundingan Antar Kawasan dan Organisasi Internasional Kemendag, Natan Kambuno, menekankan strategi pemerintah untuk menjaga daya saing lada di pasar global. Strategi tersebut antara lain mencakup intensifikasi tanaman, pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas, pengembangan produk bernilai tambah, dan peningkatan promosi internasional.
Sementara itu, Direktur Eksekutif IPC 2021–2025, Firna Azura, menyoroti kekhawatiran petani dan pelaku industri lada terkait rencana tarif impor baru oleh Amerika Serikat. IPC tengah mengupayakan penyampaian keberatan resmi kepada pemerintah AS agar lada dikecualikan dari daftar produk yang dikenai tarif resiprokal.
“Lada bukan komoditas yang bisa dibudidayakan di AS, jadi tidak mengancam petani lokal. Impornya mencapai 100 kiloton metrik per tahun, atau sekitar 25 persen perdagangan lada hitam dunia,” tegas Firna.
Direktur Eksekutif IPC yang baru, Marina Novira Anggraini, mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat dialog dan kerja sama guna menghadapi tantangan industri lada. “Sebagai tuan rumah Sekretariat IPC, Indonesia berkomitmen mendukung kerja sama multilateral demi perdagangan lada yang berkelanjutan, inovatif, dan inklusif,” kata Marina.
Sebagai informasi, IPC adalah organisasi antarpemerintah di sektor lada yang didirikan pada 1972. IPC bertujuan mempromosikan, menyelaraskan, dan mengembangkan perdagangan lada antarnegara anggotanya. Saat ini IPC beranggotakan lima negara permanen (Indonesia, India, Malaysia, Sri Lanka, dan Vietnam) serta dua anggota asosiasi (Papua Nugini dan Filipina), yang secara kolektif menyumbang 70 persen produksi lada dunia.