SATUJABAR, BANDUNG – Industri Penerbangan di Indonesia harus berterimakasih kepada Nurtanio Pringgoadisuryo. Namanya memang tidak sepopuler Bacharuddin Jusuf Habibie, presiden RI ketiga yang menjadi pelopor industri penerbangan. Namun Nurtanio adalah perintis industri penerbangan Indonesia pertama.
Tragisnya, Nurtanio meninggal karena sedang mencoba pesawat terbang buatan luar negeri pada 21 Maret 1966. Penyebabnya adalah salah satu mesinnya mati mendadak. Padahal, pesawat buatan luar negeri ini teknologinya dianggap lebih baik.
Saat itu ia hendak melakukan uji coba penerbangan pesawat Arev (Api revolusi) yang akan digunakannya untuk berkeliling dunia. Nurtanio mengalami nasib nahas lantaran pesawat tersebut mengalami kerusakan mesin. Ia mencoba melakukan pendaratan darurat di lapangan Tegallega, Bandung, namun pendaratannya gagal lantaran pesawat menabrak toko. Nurtanio meninggal pada usia 42 tahun.
Suka Pesawat
Marsekal Muda Udara Nurtanio Pringgoadisuryo, lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan pada 3 Desember 1923.
Kecintaannya terhadap dunia penerbangan sudah mulai terlihat sejak zaman Hindia Belanda, di mana saat itu ia rutin berlangganan majalah penerbangan berbahasa belanda, yakni majalah Vliegwereld, dan sering menekuni masalah aeromodelling dan aerodinamika
Mengenai pendidikannya, sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Tinggi Teknik atau Kogyo Senmon Gakko di Sawahan, Surabaya, Jawa Timur. Dan di sana pula, ia mendirikan Junior Aero Club, sebuah perkumpulan yang membahas mengenai teknik pembuatan pesawat model yang merupakan dasar-dasar aerodinamika.
Di Junior Aero Club, penggila pesawat ini tidak hanya mendalami masalah pesawat model. Ia juga mendalami buku-buku teknik penerbangan serta membuat rancangan glider atau pesawat layang type Zogling.
Perkumpulan tersebut juga membuatnya berkenalan dengan dengan RJ Salatun, orang yang juga memiliki minat yang sama dengannya, dan kebetulan juga berlangganan majalah Vliegwereld.
Kemudian, di awal kemerdekaan Indonesia, Nurtanio dan RJ Salatun bergabung dengan Angkatan Udara di Yogyakarta, yang kala itu bernama TKR Jawatan Penerbangan.
Di sana, ia menjabat di Sub Bagian Rencana, sementara R.J Salatun menjabat di Sub Bagian Penerangan. Mereka juga bertemu dengan Wiweko Soepono, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bagian Rencana dan Penerangan. Di sinilah mereka bertiga dikenal sebagai tiga serangkai perintis kedirgantaraan Indonesia.
Glider
Dibantu oleh Halim Perdanakusuma, kala itu ketiganya bertugas untuk mendesain tata kepangkatan Angkatan Udara dan persiapan-persiapan lainnya. Nurtanio juga memiliki tugas lain, yakni merancang glider.
Karena kurang lengkapnya fasilitas yang ada di Yogyakarta, akhirnya usai menyelesaikan rancangan glider, Nurtanio dan Wiweko pindah ke Maospati.
Pada tahun 1947 di Maospati, Nurtanio dan Wiweko berhasil membuat beberapa pesawat glider yang dinamai NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider), yang kemudian digunakan untuk melatih para kadet penerbang yang akan dikirim ke India.
Di tahun 1950, Nurtanio kembali membuat pesawat all metal pertama Indonesia yang dinamai Sikumbang. Kala itu Nurtanio berencana menerbangkannya ke daerah Sekaten, Yogyakarta, namun rencana itu dibatalkan oleh Kepala Staf Angkatan Udara, Suryadarma, atas usulan dari R.J Salatun.
Pembatalan tersebut dilakukan lantaran R.J Salatun memiliki firasat buruk mengenai penerbangan tersebut. Akhirnya Nurtanio hanya menerbangkan pesawat Sikumbang di sekitar Landasan Udara Husein Sastranegara. Firasat buruk R.J Salatun terbukti, pesawat tersebut mengalami gangguan mesin mati.
Kemudian, di masa Jenderal A.H. Nasution menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional, Nurtanio juga membuat pesawat PZL-104 Wilga yang dinamai Gelatik. Pesawat ini adalah pesawat pertanian yang dapat menyemprotkan cairan pembasmi hama dari udara.
Karena dedikasinya yang begitu besar, namanya diabadikan dalam Industri Pesawat Terbang Nurtanio (sekarang IPT-Nusantara/IPTN/PT Dirgantara Indonesia).
Dan pada 9 April 2019, di acara resepsi HUT TNI AU ke-73 di Halim Perdanakusuma, Nurtanio dianugerahi sebagai Bapak Dirgantara Indonesia. Pemberian anugerah tersebut diberikan oleh Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto kepada perwakilan keluarga Nurtanio.