SATUJABAR, BANDUNG – Pesatnya perkembangan dan perubahan teknologi telah mendisruspi banyak bidang, tidak terkecuali di dunia jurnalistik. Kode Etik Jurnalistik (KEJ), menjadi marwah insan jurnalis, tetap harus menjadi ‘dewa’ yang senantiasa dijunjung tinggi sebagai pegangan moral dan profesional di era disrupsi media.
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers, Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, menekankan, di tengah pesatnya perkembangan dan perubahan tekhnologi sebagai keniscayaan, pentingnya para insan jurnalis beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Kecepatan informasi tidak boleh mengorbankan pentingnya akurasi dan verifikasi.
“Media harus tetap disiplin dan bertanggungjawab dalam menjaga kredibilitasnya. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pees, berisi 11 pasal mencakup prinsip-prinsip utama, seperti independensi, akurasi, keberimbangan, atau check and balance, dan profesionalisme,” ujar Sapto, dalam seminar bertajuk ‘Ekosistem Informasi yang Sehat, Meningkatkan Kualitas Karya Jurnalistik’, di Kampus Universitas Bandung (Unisba), Selasa (21/01/2025)
Seminar juga menghadirkan narasumber, Sekretaris Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jawa Barat, Subagja Hamara, Direktur Bisnis Disway National Network & Sekretaris SPS Jawa Barat, Suhendrik, Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi (Kadiskominfo) Jawa Barat, Ika Mardiah, Wakil Ketua BPC Persatuan Humas (Perhumas) Bandung, Yuni Mogot, dan Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unisba, Prof. Dr. Septiawan Santana.
Sapto mengungkapkan, Kode Etik Jurnalistik menjadi marwah dan fondasi utama bagi eksistensi media, agar tetap relevan dan dipercaya masyarakat. Meski tidak bisa dipungkiri, di era digital, Kode Etik Jurnalistik menghadapi tantangan besar, seperti misinformasi, maraknya komersialisasi konten, serta fenomena jurnalisme warga, atau citizen jurnalism.
“Disrupsi digital membuat media mainstream harus lebih kompetitif, tentunya tanpa mengorbankan integritas. Media sosial kerap mempercepat polarisasi, dan ini harus diatasi dan diantisipasi disiplin verifikasi ketat,” ungkap Sapto.
Guru Besar Fikom Unisba, Prof. Dr. Septian Santana, sepakat disrupsi digital menuntut media untuk berinovasi dan beradaptasi. Industri media memiliki potensi besar tumbuh dan besar jika mampu berkolaborasi dengan sektor teknologi dan kreatif.
“Industri media digital memiliki peluang tumbuh dan besar melalui pengembangan konten relevan, adaptif, dan memiliki nilai tambah. Kolaborasi dengan teknologi dapat menciptakan inovasi menjawab kebutuhan audiens masa kini,” ujar Septiawan.
Septian juga menekankan, pentingnya membangun komunitas yang kuat diantara produsen konten, konsumen, dan pemangku kepentingan lainnya. Roadmap industri media harus mencakup peningkatan kualitas konten sesuai dengan dinamika perkembangan dan perubahan teknologi.
Dalam penutupnya, Sapto menggarisbawahi, perkembangan dan perubahan teknologi membawa peluang sekaligus juga tantangan. Misalnya, optimasi mesin pencari (SEO), yang sering memengaruhi kebebasan editorial, atau tekanan dari pemodal yang dapat menjebak media ke dalam produksi konten sensasional.
“Media harus cerdas dalam menggunakan teknologi, termasuk big data analytics, untuk meningkatkan literasi digital, sekaligus memperkuat verifikasi informasi. Pentingnya mengembangkan etika baru, termasuk dalam penggunaan kecerdasan buatan, tentunya tetap dengan berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik,” tegas Sapto.(chd).