BANDUNG: Kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia perlu dilakukan secara hati-hati dengan memerhatikan kondisi makro dan tren inflasi ke depan.
Hal itu dikatakan Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta Komarudin menanggapi hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada 22-23 Agustus 2022.
Rapat itu memutuskan menaikkan BI-7 Day Reverse Repo Rate (kenaikan suku bunga acuan harus dilakukan hati-hati. BI7DRR) atau suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen.
“Dan memang sejalan dengan bank sentral negara lain yang lebih dulu menaikkan suku bunga acuan dalam merespon tren kenaikan inflasi,” katanya dikutip situs DPR, Rabu (24/8/2022).
Dalam sebuah kesempatan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan kenaikan suku bunga sebagai langkah preemptive dan forward looking.
Hal itu untuk memitigasi kenaikan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi dan inflasi komoditas pangan (volatile food).
Selain itu memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah.
TREN INFLASI
Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat tingkat inflasi pada bulan Juli 2022 berada di angka 4,94 persen (yoy).
Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 4,35 persen (yoy).
BI pun menyebut ke depan tekanan inflasi diperkirakan meningkat karena didorong masih tingginya harga energi dan pangan global serta kesenjangan pasokan.
Menanggapi hal tersebut, Puteri mendorong BI untuk terus menjaga inflasi agar tetap terkendali.
Menurutnua, BI perlu terus bersinergi bersama pemerintah pusat dan daerah untuk menjaga stabilitas harga.
Terutama di tengah tantangan tren kenaikan harga pangan dan energi.
Karenanya, perlu dikendalikan inflasi dengan memastikan keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi yang efektif.
Lebih lanjut, Puteri juga berpesan kepada BI untuk terus memantau dampak kenaikan suku bunga acuan ini terhadap fungsi intermediasi perbankan.
Menurutnya kebijakan tersebut nantinya dapat ditransmisikan terhadap kenaikan suku bunga kredit perbankan.
“Sehingga dampaknya terhadap pertumbuhan kredit juga harus di monitor,” ,” ujar legislator dapil Jawa Barat VII tersebut.
Puteri menjelaskan hal tersebut menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penawaran kredit, di samping likuiditas perbankan, profil risiko, hingga insentif.
Politisi Partai Golkar itu meminta BI terus menjaga kepercayaan pasar.
“Di tengah kondisi pasar keuangan global yang penuh ketidakpastian, BI perlu hadir di pasar untuk terus melakukan operasi moneter dalam menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan inflasi,” ujarnya.