SATUJABAR, JAKARTA – Sebuah kabar menggembirakan meluncur dari markas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Lembaga itu berhasil mengembangkan alat deteksi alkohol dan zat aditif berbahaya pada bahan pangan secara cepat bernama Si-AZA (Sistem Deteksi Alkohol dan Zat Aditif).
Inovasi ini ditujukan untuk mendukung pengawasan keamanan pangan di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan di lapangan.
Inovasi ini merupakan kolaborasi antara Pusat Riset Elektronika, Pusat Riset Telekomunikasi, dan Pusat Riset Teknologi Tepat Guna BRIN.
Ketua peneliti, Novita Dwi Susanti, menjelaskan latar belakang pengembangan Si-AZA berangkat dari kebutuhan praktis di lapangan. Dalam kegiatan operasi pasar, selama ini, petugas BPOM atau Dinas Kesehatan harus membawa sampel makanan ke laboratorium untuk diuji. Proses itu memakan waktu dan hasilnya tidak bisa langsung diketahui di tempat.
“Dari situ kami berpikir, bagaimana kalau dibuat alat yang bisa langsung mendeteksi kadar alkohol dan zat aditif berbahaya secara real-time?” ujarnya, saat diwawancara Tim Humas BRIN, Selasa (14/10).
Si-AZA merupakan perangkat portabel yang dapat mendeteksi bahan berbahaya pada bahan pangan seperti kandungan alkohol, formalin, boraks, dan rodamin B secara real-time. Alat ini dilengkapi fitur internet of things (IoT) untuk mendukung pencatatan dan pemantauan hasil uji.
“Tantangan utama pengawasan pangan selama ini adalah keterbatasan waktu dan akses ke laboratorium. Dengan Si-AZA, deteksi dini bisa dilakukan langsung di tempat. Sehingga, tindakan bisa diambil lebih cepat bila ditemukan indikasi bahan berbahaya,” jelas Novita.
Akurasi Tembus 90 Persen
Si-AZA bekerja menggunakan kombinasi beberapa sensor, antara lain sensor HCHO untuk mendeteksi alkohol dan formalin, serta sensor warna RGB untuk boraks dan rodamin B. Data yang tertangkap sensor diolah oleh mikrokontroler, dianalisa, dan hasilnya langsung ditampilkan di layar sentuh serta dikirim ke IoT web server.
“Keunggulan utamanya adalah kecepatan dan portabilitas. Hasil bisa keluar dalam hitungan detik dan langsung tersimpan secara digital. Sangat cocok untuk skrining awal sebelum dilakukan uji laboratorium lanjutan,” terangnya.
Soal akurasi, Peneliti Pusat Riset Telekomunikasi BRIN ini menyebutkan Si-AZA telah dikalibrasi menggunakan metode standar laboratorium. Tingkat kesesuaian hasil Si-AZA dengan laboratorium BPOM mencapai lebih dari 90 persen.
Selain itu, alat ini dirancang agar mudah digunakan oleh petugas tanpa latar belakang teknis tinggi. “Tampilannya berbasis layar sentuh dengan ikon intuitif, jadi mudah dioperasikan. Ditambah lagi, alat ini punya baterai internal, jadi bisa dipakai langsung di lapangan tanpa sumber listrik 220 volt,” terangnya.
Salah satu nilai tambah Si-AZA adalah integrasi data. Hasil pengujian bisa langsung dikirim ke server web melalui koneksi Wi-Fi atau hotspot dan diakses oleh pihak berwenang secara real-time. “Kami mendesain sistem ini agar mendukung pengawasan pangan yang terintegrasi secara nasional,” ujar Novita.
Meski masih tahap prototipe fungsional, alat ini sudah mengantongi nomor pendaftaran paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. BRIN kini tengah menyiapkan proses komersialisasi dan standardisasi bersama mitra industri.
Novita menyampaikan adanya tantangan dalam pengembangan alat ini pun tidak sedikit. Salah satunya menjaga kestabilan sensor dalam berbagai kondisi lingkungan. “Namun, berkat kolaborasi lintas bidang di tim, hambatan-hambatan itu bisa diatasi,” ungkapnya.
Topang Program MBG
BRIN membuka peluang kerja sama dengan industri alat kesehatan, lembaga pengawas pangan, maupun pemerintah daerah untuk mendukung pemanfaatan luas Si-AZA di seluruh Indonesia. Ke depannya, BRIN berencana mengembangkan Si-AZA sebagai alat sensor multimoda yang dapat digunakan tidak hanya untuk mendeteksi zat aditif berbahaya pada bahan pangan, tapi juga gas-gas berbahaya penyebab keracunan makanan, terutama untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Kami sedang menyiapkan versi yang bisa mendeteksi gas, yang dihasilkan oleh bakteri pada makanan, seperti VOC, NH₃, H₂S, dan CO₂. Dengan begitu, Si-AZA bisa menjadi alat analisis awal untuk menentukan apakah makanan layak dikonsumsi atau tidak,” jelasnya.
Dengan inovasi berkelanjutan, BRIN berharap Si-AZA menjadi solusi nyata meningkatkan keamanan pangan di Indonesia. “Masyarakat bisa merasa lebih aman. Sementara, petugas punya alat bantu modern yang praktis untuk melindungi konsumen dari bahaya zat aditif dan kontaminan berbahaya,” pungkas Novita.

