Masih banyak nilai-nilai Sunda belum tergali yang bisa menjadi dasar filosofis bagi pengembangan masyarakat, khususnya di Jabar.
SATUJABAR, BANDUNG — Calon gubernur (cagub) Jabar nomor urut 4 Dedi Mulyadi menginginkan kabudayaan Sunda menjadi obyek penelitian yang lebih mendalam. Hal ini, kata dia, agar kearifan lokalnya bisa menjadi dasar filosofis pembangunan di Jabar.
“Masih banyak nilai-nilai Sunda belum tergali yang bisa menjadi dasar filosofis bagi pengembangan masyarakat, khususnya di Jawa Barat,” katanya usai menutup acara Rapat Kerja Paguyuban Pasundan di Kota Bandung, Sabtu (19/10/2024).
Dedi mengakui, kearifan lokal, seperti kebudayaan Sunda, selama ini menjadi inspirasi sepak terjang politiknya. Dia sadar, kebudayaan Sunda memiliki banyak nilai adiluhung, menjadi dasar filosofis tindakannya dalam berpolitik.
“Politik atau kekuasaan itu pengabdian, itu nilai kebudayaan Sunda yang saya adopsi,” tutur Kang Dedi sapaan akrabnya.
Dikatakan Dedi, pentingnya penggalian kebudayaan Sunda untuk mencari kearifan lokalnya sebagai dasar filosofis pembangunan di Jabar. “Hari ini saya diundang oleh pupuhu Paguyuban Pasundan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dan gagasan mengenai kosmologi Sunda, sehingga cerita Sunda bukan hanya cerita dari sisi bahasa tapi harus melahirkan peradaban,” ujarnya.
Kang Dedi ingin, kesundaan bisa diterjemahkan mulai dari pertanian, arsitektur, pendidikan hingga tata kelola lingkungan yang akan memperkaya kebudayaan di Nusantara. Paguyuban Pasundan yang menaungi Universitas Pasundan akan didorong untuk membantu melakukan penelitian mengenai ajaran Sunda agar tak selalu dikaitkan dengan hal mistik, tapi harus menjadi akademik.
Dia mencontohkan, tulisan Sunda buhun itu diteliti apa maknanya, dari makna itu lahirlah nanti karya ilmiah. Jadi, dirinya ingin, nanti ada jurnal-jurnal internasional memiliki latar berpikir akademik berdasarkan dari falsafah kesundaan.
Selama ini, menurut Kang Dedi, hampir tidak ada yang berani memunculkan hal tersebut. Sehingga, kebanyakan kebudayaan yang ada kerap disangkutkan dengan dunia klenik. Padahal, hal tersebut bisa saja merupakan bahasa akademik pada zamannya.
“Kita nanti harus ada lab kebudayaan Sunda. Disebut kebudayaan itu bukan hanya suling, bukan hanya gedung, tapi bagaimana sejarahnya, manuskripnya, bagaimana cita-cita besar tentang pembangunan perubahan,” pungkas KDM. (yul)