BANDUNG – Bunuh diri merupakan fenomena kompleks yang belum sepenuhnya dipahami, dengan berbagai faktor penyebab yang sulit ditentukan secara spesifik.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yurika Fauzia Wardhani, mengungkapkan bahwa menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka bunuh diri mencapai lebih dari 800 ribu kasus per tahun, dengan puncaknya terjadi di usia muda.
Data box menunjukkan 921 kasus, juga didominasi oleh kelompok usia muda atau produktif.
Dalam webinar bertajuk “Fenomena Banyaknya Kasus Bunuh Diri pada Usia Produktif, Apa yang Terjadi?”, Yurika menjelaskan selama pandemi pihaknya mencatat lonjakan kasus bunuh diri yang muncul di media sosial.
“Data dari 2012 hingga 2023 menunjukkan bahwa angka tertinggi kasus bunuh diri berada di kalangan remaja dan dewasa muda,” katanya seperti dikutip laman BRIN.
Menurut Yurika, pada usia remaja, faktor-faktor seperti tekanan akademis, harapan tinggi untuk berprestasi, perubahan hormon, emosi, masalah keluarga, serta perundungan dan cyberbullying berkontribusi pada meningkatnya kasus bunuh diri.
Faktor-faktor ini juga relevan bagi usia dewasa, meskipun penyebabnya sering kali serupa.
Selain itu, Yurika juga menyoroti tingginya angka bunuh diri di kalangan lansia dan manula, meskipun kelompok ini sering kali kurang mendapatkan perhatian.
“Pada usia lansia, faktor-faktor seperti kesehatan mental yang menurun, rasa kesepian, penyakit kronis, dan akses yang terbatas untuk mendapatkan pertolongan dapat mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri,” jelasnya.
Dalam hal jenis kelamin, Yurika mencatat bahwa pria memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi. Hal ini dikaitkan dengan norma sosial patriarki yang menekankan bahwa pria harus “lebih tegar” dan kurang terbuka dalam berbagi masalah.
Metode bunuh diri yang umum digunakan termasuk minum racun, menembak diri, melompat dari ketinggian, dan gantung diri.
Solusi
Yurika mengusulkan beberapa solusi untuk mencegah bunuh diri, antara lain: meningkatkan kesadaran dan pendidikan, menyediakan pelayanan kesehatan mental yang lebih baik, memberikan pelatihan dan dukungan kepada keluarga serta komunitas, serta bekerja sama dengan instansi terkait untuk merancang program pencegahan bunuh diri. Dia juga menekankan pentingnya pencatatan dan penelitian yang akurat untuk mendukung upaya pencegahan.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN NLP, Indi Dharmayanti, menambahkan bahwa bunuh diri tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga mempengaruhi keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat luas.
“Kehilangan seseorang di usia produktif berarti kehilangan potensi dan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Pencegahan bunuh diri adalah tanggung jawab bersama,” tegas Indi.
Menurut Indi, memahami faktor penyebab bunuh diri, termasuk tekanan ekonomi, masalah kesehatan mental, dan kurangnya dukungan sosial, adalah kunci untuk mengembangkan strategi pencegahan yang efektif. “Pendekatan holistik yang melibatkan intervensi medis, psikologis, pendidikan, kampanye kesadaran, dan kebijakan pendukung kesehatan mental sangat penting untuk mengatasi masalah ini,” tandasnya.