BANDUNG – Hari AIDS Sedunia 2024 menjadi momentum penting untuk menggalang upaya bersama dalam mengakhiri stigma, diskriminasi, dan ketidaksetaraan dalam penanganan HIV/AIDS di Indonesia. Peringatan ini juga menjadi pengingat untuk memperkuat sinergi lintas sektor dalam mencapai target global untuk mengakhiri epidemi AIDS pada 2030.
Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi (PR-KMG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mirna Widiyanti, menjelaskan dalam diskusi publik BRIN Insight Every Friday (BRIEF) edisi ke-144, bahwa ada tiga tujuan utama dalam upaya mengakhiri AIDS: mengurangi infeksi baru, menurunkan angka kematian akibat AIDS, dan menghilangkan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Diskusi yang digelar daring ini bertema “Hari AIDS Sedunia – Bersatu untuk Generasi Bebas HIV” pada Jumat (6/12) dan dapat disaksikan melalui kanal YouTube BRIN Indonesia.
Mirna mengungkapkan bahwa pada 2023, Indonesia mencatatkan 515.455 kasus kumulatif HIV/AIDS dengan prevalensi HIV pada usia di atas 15 tahun sebesar 0,26%. Provinsi-provinsi dengan epidemi HIV yang meluas antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Papua, dengan Papua mencatatkan prevalensi tertinggi sebesar 2,3%.
Meskipun terjadi penurunan infeksi baru HIV sebesar 43% pada dekade 2010–2020, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mencapai target pengurangan infeksi baru di bawah 5.000 kasus per tahun pada 2030.
Strategi Pengendalian HIV/AIDS
Mirna menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia telah menerapkan empat strategi utama dalam pengendalian HIV/AIDS, di antaranya pencegahan melalui edukasi penggunaan kondom, pemberian alat suntik steril, terapi metadon, serta pemberian profilaksis pra- dan pasca-pajanan (PrEP dan PEP). Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak juga terus berjalan melalui program PPIA.
Pemerintah juga melaksanakan surveilans dan pengujian, dengan tes HIV tersedia di lebih dari 12.000 fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Selain itu, terapi ARV (Antiretroviral Therapy) untuk penanganan HIV dan pengobatan infeksi menular seksual (IMS) yang sering menjadi pintu masuk HIV, seperti sifilis dan gonore, juga menjadi prioritas.
Stigma Terhadap ODHA
Mirna menyoroti masalah stigma terhadap ODHA yang masih tinggi di Indonesia. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai cara penularan HIV, yang seringkali disalahartikan, menjadi salah satu penyebab berlanjutnya stigma tersebut. Hal ini, menurutnya, memperlambat upaya pengurangan stigma.
“Salah paham masyarakat tentang cara penularan HIV, seperti melalui hubungan seksual atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril, sering menyebabkan stigma yang sulit dihilangkan,” ujarnya dikutip situs resmi BRIN. Mirna menekankan pentingnya edukasi yang benar mengenai HIV melalui tenaga kesehatan dan media massa untuk mengurangi stigma tersebut.
Perkuat Kolaborasi Lintas Sektor
Untuk mencapai target eliminasi HIV pada 2030, Mirna menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), dan berbagai pihak terkait. “Kementerian Kesehatan telah bekerja sama dengan banyak LSM dan komunitas untuk mendukung kampanye melawan HIV/AIDS,” katanya.
LSM juga memainkan peran penting dalam mendekati ODHA dan mendukung mereka dalam terlibat dalam kampanye ini. Sinergi antara lembaga pemerintah dan LSM sangat penting untuk mencapai target eliminasi HIV pada 2030, yang mencakup tiga sasaran utama: nol infeksi baru, nol kematian akibat HIV, dan nol diskriminasi terhadap ODHA.
Mirna menutup diskusi dengan menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor yang melibatkan kerja sama nasional dan internasional, termasuk dengan organisasi seperti UNAIDS dan WHO, untuk memastikan kebijakan ARV sesuai dengan standar global.
“Kita harus bekerja bersama-sama untuk memastikan bahwa target eliminasi HIV pada 2030 dapat tercapai,” pungkasnya.