BANDUNG – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa tahun 2024 merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan suhu global. Suhu rata-rata dunia pada tahun tersebut mencapai 1,55°C di atas tingkat pra-industri, melampaui ambang batas yang disepakati dalam Perjanjian Paris.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam pidatonya pada Forum Inovasi Climate Smart Indonesia yang digelar di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (5/5). Ia menekankan bahwa lonjakan suhu ini merupakan sinyal jelas bahwa krisis iklim semakin nyata dan mengancam keberlangsungan hidup manusia.
“Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia,” ujarnya.
Dwikorita menjelaskan bahwa perubahan suhu saat ini berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal di masa lalu. Ia mengingatkan bahwa tanpa upaya mitigasi yang serius dan kolaboratif, dampaknya bisa sangat merusak, termasuk terhadap ekosistem, ketahanan pangan, dan kesehatan publik.
“Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun,” ungkapnya.
Data observasi BMKG mencatat bahwa suhu rata-rata nasional pada tahun 2024 mencapai 27,52°C—angka tertinggi sejak pengamatan dimulai. Kondisi ini disebut bukan sekadar anomali, melainkan bukti nyata bahwa krisis iklim tengah berlangsung dan memberikan dampak langsung terhadap berbagai sektor, terutama kesehatan masyarakat.
Dwikorita menuturkan bahwa perubahan iklim telah meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, gangguan kesehatan mental, dan penurunan kualitas hidup secara umum. Perubahan pola hujan dan suhu mendorong peningkatan kasus penyakit berbasis air dan makanan seperti kolera dan salmonella, serta penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti demam berdarah dan Lyme disease.
Sebagai respons atas tantangan tersebut, BMKG bersama Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Kementerian Kesehatan, dan sejumlah mitra internasional seperti IMACS dan Mohamed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI), tengah mengembangkan sistem peringatan dini multi-bahaya berbasis kecerdasan buatan (AI).
“Sistem ini dirancang tidak hanya untuk mendeteksi potensi bencana alam seperti gempa dan tsunami, tetapi juga untuk memantau dan memprediksi lonjakan penyakit yang dipengaruhi oleh faktor iklim,” jelas Dwikorita.
Dengan teknologi yang ada, BMKG kini mampu memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan akurasi 85 persen. Dukungan AI diharapkan dapat meningkatkan presisi prediksi tersebut hingga ke tingkat desa.
Salah satu inisiatif konkret yang telah diterapkan adalah platform DBDKlim, yang memberikan peringatan dini terhadap potensi lonjakan kasus demam berdarah. Program ini telah digunakan di Jakarta dan Bali, mendorong pemerintah daerah untuk melakukan aksi preventif seperti fogging dan pemberantasan sarang nyamuk secara tepat waktu.
Menghadapi musim kemarau yang akan datang, BMKG juga mengingatkan masyarakat akan potensi peningkatan suhu dan memburuknya kualitas udara. BMKG kini menyediakan pemantauan kualitas udara secara real-time melalui aplikasi Info BMKG, guna membantu masyarakat mengambil langkah mitigasi lebih awal.
Dwikorita menegaskan bahwa menghadapi krisis iklim memerlukan kerja sama lintas sektor dan pemangku kepentingan.
“Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan,” tegasnya.