SATUJABAR, JAKARTA – Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) Daerah Pemilihan Jawa Barat (Jabar) Agita Nurfianti menekankan urgensi jaminan ketersediaan obat korban narkotika. Hal itu disampaikannya pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite III DPD RI dengan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta, Senin (8/9), di Kantor DPD RI, Jakarta. RDP ini dilaksanakan dalam rangka inventarisasi materi pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya terkait rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang.
Dalam kesempatan tersebut, Agita menyoroti persoalan ketersediaan obat-obatan yang digunakan dalam proses rehabilitasi pasien. Obat-obatan tersebut perlu dipastikan jaminan ketersediannya.
“Mengenai hambatan yang dihadapi itu ketersediaan obat-obatan yang tidak masuk lagi ataupun habis. Upaya apa yang sekarang dilakukan oleh RSKO untuk menanggulangi masalah ini? Karena dikhawatirkan akan menghambat penyembuhan pasien, apalagi jika tidak ada pengganti obat yang sudah tidak tersedia lagi,” ujar Agita kepada Satujabar.com.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama RSKO Jakarta Yuwanda Nova menjelaskan, saat ini ketersediaan obat Suboxone menjadi tantangan utama. Obat tersebut merupakan salah satu terapi penting bagi pasien korban narkotika, namun pasokannya terancam habis karena kendala dalam proses impor.
“Suboxone ini yang saat ini satu-satunya diimpor oleh Kimia Farma dan ternyata ada masalah di proses impornya sehingga kemungkinan ini akan putus. Apa yang kami lakukan? Yang pertama, kami sudah mulai mencoba tape ripped off kepada pasien-pasien kami, sudah mulai mengurangi penggunaan Suboxone itu, sehingga harapannya tidak terlalu terjadi proses sakau yang lebih parah, tapi ya memang kita ingatkan. Cuma memang kalau nanti putus, itu juga pasti akan terjadi,” ujarnya.
“Lalu yang kedua, kami sudah bersurat ke Kimia Farma dan Kemenkes untuk difasilitasi, mungkin menggunakan jalur lain karena ada beberapa jenis obat lain di India yang bisa kalau memang bermasalah dengan obat Suboxone ini kita bisa menggunakan jalur khusus di Kementerian Kesehatan itu ada impor jalur khusus untuk obat-obatan tertentu yang memang bisa dilakukan. Jadi itu yang teknis bisa kita lakukan,” tambah Yuwanda.
Ia menambahkan, berdasarkan perhitungan RSKO, stok Suboxone diperkirakan akan habis pada Oktober 2025. Karena itu, langkah cepat diperlukan agar tidak mengganggu keberlanjutan rehabilitasi pasien.
“Hitungan kami ini bisa sampai Oktober ini stoknya bakal habis. Mudah-mudahan sebelum Oktober kami bisa mengimpor kembali, walaupun nggak banyak cuma mungkin itu salah satu penyebabnya, jumlah penggunaan Suboxone ini di Indonesia tidak terlalu banyak lagi,” tutur Yuwanda.
“Jadi menurut unit cost keuntungan bisnis mungkin sudah tidak menguntungkan lagi. Tapi pasien-pasiennya kalau tidak menggunakan Suboxone mereka akan sakau, mengalami gangguan yang ADC-nya agak berbeda dengan pasien-pasien sabu. Kalau pasien-pasien sabu adiktifnya agak berbeda tapi biasanya bukan proses adiktif tapi lebih ke arah kelainan kejiwaan, misalnya bisa parahnya ke schizophrenia, schizoid, dan halusinasi segala macam. Tapi kalau yang morfin bisa sampai menimbulkan gejala di tubuh segalam macam dalam bentuk fisik,” katanya.
Karena itu, Agita Nurfianti menegaskan komitmen DPD RI untuk terus mengawal isu ini agar pemerintah segera mengambil langkah konkret.
“Kami mendorong Kementerian Kesehatan, BUMN farmasi, dan seluruh pemangku kepentingan untuk memastikan ketersediaan obat rehabilitasi korban narkotika. Jangan sampai hambatan teknis mengganggu proses pemulihan pasien. Negara harus hadir dalam melindungi mereka yang sedang berjuang lepas dari jerat narkotika,” tegasnya.
Ia menyampaikan, DPD RI berkomitmen untuk terus menjembatani aspirasi daerah serta memperkuat koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, sehingga penanganan korban narkotika dapat berjalan lebih efektif, komprehensif, dan berkelanjutan.