BANDUNG – Penerapan bahan bakar B40 persen atau biasa disebut B40 akan diterapkan pada tahun 2025 oleh pemerintah untuk menopang ketahanan energi dan lingkungan.
Menurut siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) penerapan bahan bakar B40 juga sejalan dengan Asta Cita Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, yang menjadikan ketahanan pangan dan energi sebagai prioritas nasional.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot, memastikan bahwa pelaksanaan program B40 akan berjalan dengan baik.
“Hari ini kami bersama tim turun untuk mengecek kesiapan implementasi B40 yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. Menteri ESDM telah menetapkan keputusan terkait implementasi ini, dan kami sudah melihat langsung kesiapan industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati,” ujar Yuliot saat meninjau Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai, Riau, pada Jumat (27/12).
Menurut Yuliot, kebutuhan biodiesel untuk mendukung pelaksanaan B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Angka ini mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama. “Kami juga terbuka terhadap masukan dari berbagai badan usaha untuk memastikan kelancaran implementasi B40,” tambahnya.
Yuliot mengungkapkan bahwa tantangan dalam penerapan B40 tidak hanya terkait dengan ketersediaan bahan baku, tetapi juga kondisi geografis Indonesia yang sangat beragam. “Kami berharap masukan dari Pertamina Patra Niaga dan badan usaha lainnya mengenai tantangan implementasi B40. Misalnya, daerah seperti Dumai yang relatif panas atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada dampak yang perlu disiapkan oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang melaksanakan mandatori B40,” ujar Yuliot.
Sebagai bagian dari mendukung implementasi B40, PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilang utama, yakni Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua, untuk memproduksi biodiesel. Selain itu, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga.
“Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0, dan insya Allah siap untuk memproduksi B40. Kilang yang akan memproduksi B40 adalah RU III Plaju dan RU VII Kasim, sementara blendingnya dilakukan oleh Patra Niaga,” ujar Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Didik Bahagia.
Selain B40, Pertamina juga telah berhasil memproduksi bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) dengan campuran 2,4 persen bahan bakar berbasis sawit. Produksi bioavtur ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing. “Kapasitas pengolahan bioavtur saat ini mencapai 9.000 barel per hari (bph), dengan bahan baku dari produk turunan kelapa sawit, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO). Uji coba telah dilakukan menggunakan pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 untuk rute Jakarta-Solo pulang pergi,” jelas Didik.