Kehadiran belasan kepala daerah itu sejatinya terlambat tiga hari dari waktu yang ditentukan, yaitu Jumat (21/2/2025).
SATUJABAR, JAKARTA — Kepala daerah terpilih pilkada 2024 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), akhirnya mengikuti kegiatan retret di Akedemi Militer (Akmil) Magelang, Jateng, Senin (24/2/2025).
Mereka antara lain Pramono Anung dan belasan kepala daerah lain yang merupakan kader PDIP). Kehadiran mereka tidak lain untuk mengikuti kegiatan retreat yang digelar pemerintah pusat.
Kehadiran belasan kepala daerah itu sejatinya terlambat tiga hari dari waktu yang ditentukan, yaitu Jumat (21/2/2025). Namun, mereka tetap diterima untuk kegiatan yang akan berlangsung hingga Jumat (28/2/2025) itu.
Terlambatnya kehadiran sejumlah kepala daerah kader PDIP itu merupakan buntut dari terbitnya surat instruksi yang ditandatangi oleh ketua umum mereka, Megawati Soekarnoputri, pada Kamis (20/2/2025) malam.
Surat instruksi yang diterbitkan usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto itu, meminta para kader yang menjadi kepala daerah menunda keberangkatan untuk mengikuti retreat di Akmil Magelang, hingga muncul instruksi lebih lanjut.
Namun, akhirnya para kepala daerah dari partai berlambang kepala banteng itu akhirnya menyerah juga. Mereka akhirnya ikut bergabung dalam kegiatan retreat di Lembah Tidar, Magelang, meski ada surat instruksi dari Megawati.
Pengalaman politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menilai ada dua kemungkinan yang membuat para kader PDIP itu bergabung dalam kegiatan retreat. Pertama, dia mengatakan, ada indikasi terdapat negosiasi yang dilakukan oleh PDIP dengan pemerintah.
“Memang publik melihat seolah-olah ada pembicaraan di belakang panggung yang tidak bisa dideteksi oleh siapapun. Bahwa mungkin ada negosiasi politik PDIP dengan pihak tertentu yang terkait dengan kekuasaan. (Itulah yang membuat) Kenapa kemudian PDIP itu terkesan melunak, yang semula memboikot retreat, tapi secara perlahan kader mereka ikut retreat,” kata dia kepada media.
Namun, dia mengakui, kemungkinan itu sulit untuk dibuktikan secara pasti. Hanya saja, sikap melunak partai seperti yang dilakukan PDIP itu dapat dimaknai bahwa terdapat negosiasi politik yang terjadi di belakang panggung.
Direktur Parameter Politik Indonesia itu menambahkan, kemungkinan kedua yang bisa terjadi adalah PDIP secara sadar meralat instruksinya. Pasalnya, instruksi untuk melarang kader mereka ikut retreat merupakan manuver yang keliru, sehingga akhirnya mengizinkan para kadernya datang ke Lembah Tidar.
“Di satu sisi itu dianggap sebagai sebuah manuver yang keliru, dan pada saat yang bersamaan membuat kepala daerah kader mereka itu dikhawatirkan akan dikucilkan, akan diperlakukan diskrimatif, dalam tanda kutip, karena tidak ikut retreat,” kata dia.
Adi menilai, instruksi melarang kader partai yang menjadi kepala daerah itu bisa dianggap sebagai pembangkangan terhadap pemerintah pusat. Sebab, kegiatan itu dilaksanakan untuk kepala daerah, yang notabene merupakan bagian dari pemerintah.
“Ketika kepala daerah tidak ikut retreat, itu sama halnya membangkang pemerintah pusat. Hal itu tentu akan berdampak terhadap nasib kepala daerah ke depannya, yang berpotensi tidak diperhatikan pemerintah pusat,” ucapnya.
Hingga kini, belum ada tanggapan terkait bergabungnya sejumlah kepala daerah asal PDIP itu dalam kegiatan retreat kepada sejumlah pimpinan dan kader PDIP.
Dua orang kader PDIP yang selama ini dikenal sebagai juru bicara (jubir) partai, yaitu Chico Hakim dan Guntur Romli, serta politisi PDIP Hendrawan Supratikno. Namun, ketiganya menyatakan bahwa tugas jubir partai telah diambil alih oleh Ahmad Basarah dan Ronny Talapessy, yang sama-sama merupakan Ketua DPP PDIP. Namun, keduanya belum memberikan tanggapan yang jelas. (yul)