keberadaannya seharusnya difungsikan sebagai sarana untuk mengatasi berbagai persoalan berbasis data. Apalagi Indonesia memiliki kekayaan data, berupa keanekaragaman hayati, bahasa, dan budaya.
JAKARTA – Artificial Intelligence (AI) bukanlah tujuan akhir, melainkan alat strategis untuk mengolah potensi data menjadi nilai tambah yang berdampak langsung bagi masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, dalam sesi diskusi panel dalam rangkaian peluncuran Kick Off Indonesia Research and Innovation Expo (Inari) 2025, di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Selasa (8/7).
“AI itu bukan tujuan. AI itu kan sebenarnya tools. Alat yang kita gunakan untuk menciptakan sesuatu dari data, memanfaatkan big data yang sudah kita miliki,” ujar Handoko di hadapan peserta diskusi.
Maka dari itu, Handoko menyebutkan bahwa perkembangan AI yang begitu cepat secara global sering kali disalahartikan sebagai suatu tujuan. Padahal, keberadaannya seharusnya difungsikan sebagai sarana untuk mengatasi berbagai persoalan berbasis data. Apalagi Indonesia memiliki kekayaan data, berupa keanekaragaman hayati, bahasa, dan budaya.
“Nah, kita harus bisa menemukan hal-hal yang lain yang memang sumbernya dari lokal kita, sehingga akan lebih mudah kita untuk membuat diferensiasi, sehingga bisa punya daya saing. Nah, kebetulan negara kita ini adalah negara yang diverse, sangat beragam,” tukasnya.
Handoko mencontohkan bahwa Indonesia tidak perlu membuat produk seperti Google atau ChatGPT. “Dunia hanya butuh satu Google, satu ChatGPT. Yang dibutuhkan Indonesia adalah menciptakan use case dan solusi berbasis lokal. Itulah peran strategis AI, menjadi jembatan antara data yang melimpah dan solusi yang berdampak langsung,” jelasnya.
Indonesia, lanjut Handoko, memiliki sumber daya data yang sangat besar dan unik, mulai dari biodiversitas hayati, pengetahuan budaya lokal, bahasa daerah, hingga koleksi spesimen mikroorganisme. Di BRIN sendiri, saat ini telah tersimpan lebih dari 6 juta item koleksi ilmiah, termasuk data molekular, gambar, hingga spesimen fisik. Belum lagi kekayaan bahasa lokal—yang mencapai lebih dari 742 bahasa—serta cerita dan tradisi yang diwariskan secara lisan.
Semua potensi big data itu, belum dimanfaatkan secara maksimal. Di sinilah AI menjadi alat yang luar biasa untuk mengolah, menganalisis, dan mentransformasi data tersebut menjadi solusi konkret. “Itu tantangan utama kita untuk bisa meng-create barang baru dari data-data itu,” ucapnya.
BRIN sendiri bekerja sama dengan Google untuk mengembangkan corpus digital bahasa daerah Indonesia, sebagai bagian dari upaya pelestarian dan digitalisasi warisan budaya. “Sekarang konservasi bukan hanya soal menyimpan tanaman hidup di kebun raya, tapi juga menyimpan pengetahuan dalam bentuk digital — gambar, DNA, struktur protein, hingga bahasa lokal. Dan itu semua adalah data yang bisa dikelola dengan AI,” ujar Handoko.
Citizen Science, AI untuk Pemberdayaan Masyarakat
Dalam diskusi tersebut, Handoko juga menyinggung pendekatan citizen science, di mana masyarakat dari pelajar sampai orang tua, terlibat dalam pengumpulan data menggunakan perangkat sederhana seperti smartphone. Misalnya, mengumpulkan data harga cabai, kondisi tanah, hingga cuaca lokal, yang nantinya bisa dianalisis untuk membuat peta agroekologi presisi.
“Dengan AI, kita bisa memproses data-data dari masyarakat secara cepat dan efisien. Nah, itu harapan kita nanti itu akan memunculkan multiplier effect yang berbeda, dadn akan berdampak langsung pada produktivitas masyarakat,” paparnya.
Pendekatan ini, menurut Handoko, adalah bentuk nyata dari penggunaan AI sebagai tools untuk memecahkan masalah nyata — bukan sekadar mengikuti tren global. Maka dari itu, ia pun mendorong pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, penyedia infrastruktur, dan masyarakat dalam menciptakan ekosistem yang memanfaatkan AI secara optimal. “Indonesia sudah relatif well-connected secara infrastruktur. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menciptakan value creation dari konektivitas tersebut,” ungkapnya.
Ia meyakini, jika konten berbasis data lokal mulai dikelola dan dimanfaatkan secara luas, maka permintaan terhadap infrastruktur digital seperti bandwidth juga akan meningkat secara alami. “Itulah ekosistem sehat yang kita inginkan — ketika teknologi, riset, dan bisnis tumbuh bersama-sama secara berkelanjutan,” tambahnya.
Di sisi lain, Handoko berharap dengan kembali digelarnya Inari Expo 2025 dan juga Indonesia Internet Expo & Summit, yang akan digelar pada 2–4 September 2025, dapat menjadi ajang untuk menunjukkan potensi besar Indonesia dalam menciptakan inovasi berbasis data dan AI.