Pemerintah membuka peluang bagi pedagang eceran untuk mendaftar menjadi agen LPG.
SATUJABAR, JAKARTA — Kebijakan pemerintah mengenai pendistribusian LPG 3 kilogram (kg) dihujani banyak kritikan dari masyarakat. Alih-alih menciptakan kebijakan yang tepat sasaran dengan melarang pengecer menjualnya karena hanya boleh dijual di pangkalan resmi Pertamina, pemerintah malah seperti gagap dengan membalikkan kebijakan tersebut dengan menjadikan pengecer sebagai sub pangkalan.
Pengamat Ekonomi Yusuf Wibisono mengatakan, kebijakan pemerintah melarang pedagang eceran menjual LPG 3 kg memiliki tujuan utama untuk membatasi pembelian LPG 3 kg oleh pihak yang tidak berhak.
Dengan membuat LPG 3 kg yang disubsidi secara signifikan oleh pemerintah hanya tersedia di tingkat agen, pemerintah berharap dapat mengontrol konsumen, dan memastikan pembelian LPG 3 kg hanya dilakukan oleh masyarakat yang berhak, yaitu rumah tangga sasaran, usaha mikro sasaran, nelayan sasaran dan petani sasaran.
“Dengan membuat konsumsi LPG 3 kg menjadi lebih tepat sasaran, pemerintah berharap dapat menekan beban subsidi LPG 3 kg. Sekitar 68 persen konsumsi LPG 3 kg diperkirakan dinikmati oleh masyarakat kelas menengah atas. Hanya 32 persen dari subsidi LPG 3 kg yang dinikmati masyarakat miskin,” kata Yusuf.
Bahkan, terdapat tendensi masyarakat kelas menengah atas sengaja beralih dafi LPG nonsubsidi ke LPG 3 kg yang disubsidi oleh pemerintah. Sebagai contoh pada 2019 realisasi volume LPG 3 kg mencapai 6,84 juta metrik ton, sedang pada 2022 mencapai 7,80 juta metrik ton.
Di waktu yang sama, realisasi volume LPG non-subsidi turun dari 0,66 juta metrik ton pada 2019 menjadi hanya 0,46 juta metrik ton pada 2022. Sehingga dengan kata lain, terdapat konsumen yang semula mengonsumsi LPG non-subsidi beralih ke LPG 3 kg yang di subsidi.
“Karena LPG kita bergantung pada impor, maka seiring kenaikan harga komoditas global, maka beban subsidi LPG 3 kg cenderung terus meningkat seiring kenaikan konsumsi. Maka, mengendalikan konsumsi LPG 3 kg menjadi krusial bagi pemerintah untuk menekan subsidi LPG 3 kg,” jelasnya.
Yusuf mengatakan, berdasarkan data, pada 2016, subsidi LPG 3 kg baru dikisaran Rp 24,9 triliun. Lalu pada 2018, angka subsidi LPG 3 kg meningkat menjadi Rp 58,1 triliun, dan pada 2022 menembus Rp 100,4 triliun.
Melalui upaya pembatasan konsumsi dan pendataan konsumen, pemerintah berupaya menekan beban subsidi LPG 3 kg. Pada tahun 2024, realisasi subsidi LPG 3 kg berhasil ditekan menjadi Rp 80,2 triliun.
“Namun upaya pemerintah mengendalikan konsumsi LPG 3 kg dengan cara melarang penjualan oleh pedagang eceran dan membatasi penjualan hanya oleh agen resmi Pertamina, adalah kebijakan yang sangat tidak berkeadilan, dan juga tidak efisien,” ucap Yusuf.
Menurut pandangan Yusuf, hal itu setidaknya untuk dua alasan. Pertama, dengan membuat LPG 3 kg tersedia dan dapat dibeli hanya di agen resmi Pertamina, maka akses konsumen ke LPG 3 kg kini menjadi sangat terbatas.
Jumlah agen LPG di seluruh Indonesia hanya sekitar 260 ribu unit. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan pedagang eceran yang selama ini melayani pembelian LPG 3 kg oleh konsumen yang umumnya adalah rumah tangga dan usaha mikro.
Warung dan toko kelontong misalnya, yang selama ini menjadi pedagang eceran utama dari LPG 3 kg, diperkirakan berjumlah lebih dari 3,9 juta unit. “Hal ini tentu sangat merugikan konsumen,” katanya.
Kebijakan ini memaksa konsumen LPG 3 kg untuk beralih dari pedagang eceran yang jumlahnya sangat banyak dan mudah diakses dari tempat tinggal konsumen, menjadi mendatangi agen resmi Pertamina yang jumlahnya terbatas dan jauh dari tempat tinggal konsumen. Konsumen banyak dirugikan dengan biaya mencari lokasi agen penjualan (searching cost) dan biaya transportasi pulang-pergi ke lokasi agen yang lebih jauh (transaction cost) yang kini menjadi jauh lebih mahal.
Yusuf menyebut, pemerintah memang membuka peluang bagi pedagang eceran untuk mendaftar menjadi agen LPG. Namun, menurutnya, hal tersebut tidak mudah direalisasikan oleh para pedagang eceran.
Persyaratan yang ditetapkan Pertamina untuk menjadi agen dinilai sangat berat dan nyaris mustahil mampu dipenuhi oleh pedagang eceran seperti melampirkan bukti saldo rekening atau deposito minimal Rp 750 juta. Serta menguasai tanah dan bangunan berupa kantor, outlet dan gudang milik sendiri atau sewa dengan luas minimal 165 meter persegi.
“Terkini, setelah ricuh di banyak daerah akibat antrean panjang konsumen di agen Pertamina untuk membeli LPG 3 kg, akhirnya pemerintah mengizinkan kembali pedagang eceran menjual LPG 3 kg,” kata dia.
Kedua, kebijakan membatasi penjualan LPG 3 kg di tingkat agen juga berpotensi besar tidak efektif untuk membuat penyaluran LPG 3 kg menjadi lebih tepat sasaran. Penjualan LPG 3 kg hanya di agen resmi, diikuti dengan kewajiban menyerahkan KTP atau KK oleh konsumen.
Hal ini bertujuan untuk pencocokan data konsumen dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). “Kebijakan ini terlihat tidak efektif karena konsumen banyak yang tidak mengetahui keharusan menyerahkan KTP, dan agen juga tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pencocokan data. Seandainya kebijakan ini dipaksakan, dipastikan akan menghambat konsumen yang tidak membawa KTP atau bahkan tidak memiliki dokumen kependudukan resmi,” kata Yusuf.
Apalagi, lanjutnya, ditambah dengan biaya transaksi yang kini jauh lebih tinggi. Hal itu akan mengecilkan hati kelompok miskin yang seharusnya paling berhak atas LPG 3 kg bersubsidi.
Seandainya pun berjalan, pembatasan dengan mekanisme tersebut juga dinilai berpotensi tidak efektif karena basis data kemiskinan kita baik DTKS maupun P3KE juga masih banyak bermasalah.
“Kita harus memastikan bahwa exclusion error mendekati nol, tidak boleh ada orang miskin yang tidak masuk dalam DTKS atau P3KE, sehingga pembatasan LPG 3 kg tidak akan merugikan kelompok miskin. Hal ini sulit dilakukan, dan mahal,” tuturnya. (yul)