Kain sarung (marketplace)
Dari mana sih asalnya sarung? Pertanyaan itu mungkin muncul di pikiran sejumlah orang yang penasaran.
Memang penting untuk mengetahui asal muasal sebuah produk, apalagi di Maret 2024 ini kan bersamaan dengan bulan Ramadan.
Kain sarung biasanya dijadikan busana ‘wajib’ kaum muslimin untuk beribadah ke Masjid serta menjadi produk yang paling laris menjelang Idulfitri.
Jadi dari mana sih asalnya sarung? Yuk kita baca dulu sejarahnya.
Sarung merupakan sepotong kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti pipa/tabung.
Ini adalah arti dasar dari sarung yang berlaku di Indonesia atau tempat-tempat sekawasan. Dalam pengertian busana internasional, sarung (sarong) berarti sepotong kain lebar yang pemakaiannya dibebatkan pada pinggang untuk menutup bagian bawah tubuh (pinggang ke bawah).
Kain sarung dibuat dari bermacam-macam bahan: katun, poliester, atau sutera. Penggunaan sarung sangat luas, untuk santai di rumah hingga pada penggunaan resmi seperti ibadah atau upacara perkawinan. Pada umumnya penggunaan kain sarung pada acara resmi terkait sebagai pelengkap baju daerah tertentu.
Sepanjang banyak tempat di Asia Tenggara, terutamanya di Indonesia dan Malaysia, teknik pewarnaan kuno yang dikenal sebagai batik digunakan untuk menghasilkan warna dan pola yang khas pada kain dari tiap sarung. Potongan kain dengan bentuk seperti ini sering kali dipakai baik lelaki maupun wanita di Asia, Semenanjung Arab, dan tanduk Afrika.
Sarung adalah pakaian dari komunitas pelaut di Semenanjung Malaysia, Sumatra dan Jawa; Menurut Gittinger, sarung lalu diperkenalkan di pulau Madura dan sepanjang pantai utara Jawa. Di Malaysia, masyarakat biasanya memanggil Sarung dengan nama Kain Pelikat.
Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar atau ma’awis.
Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, Arab hingga Amerika dan Eropa.
Pada zaman penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa para penjajah.
Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung, sedangkan kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan sarung.
Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah, seorang tokoh penting di Nahdhatul Ulama (NU).
Suatu ketika, KH Abdul Wahab Hasbullah pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi.
Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.
Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.
Sumber: Wikipedia diolah
SATUJABAR, JAKARTA - Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Wamenpora RI) Taufik Hidayat memastikan…
SATUJABAR, BANDUNG – bank bjb menghadirkan solusi praktis bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban pembayaran Pajak…
SATUJABAR, JAKARTA - Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Agustus 2025 menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat…
SATUJABAR, CIREBON--Polisi berhasil mengungkap kasus pencurian dengan modus memecahkan kaca mobil yang terjadi di Kota…
SATUJABAR, BOGOR--Viral di media sosial, video seorang pengendara sepeda motor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat,…
SATUJABAR, BANDUNG – Harga emas Rabu 10/9/2025 dikutip dari situs logammulia.com hari ini dijual Rp…
This website uses cookies.