(Image: BRIN)
SATUJABAR, JAKARTA – Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL), Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) dan Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) menyelenggarakan Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara (SIPN) XX dengan tema “Naskah Nusantara: Ingatan Kolektif dan Masa Depan Filologi Indonesia”. Acara ini menghadirkan 172 pemakalah terpilih dan sejumlah pembicara kunci internasional, sementara kegiatan ini berlangsung pada 15 hingga 17 Oktober 2025.
Dilansir laman BRIN, Nurman Kholis dan tim, periset dari Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN memaparkan makalahnya yang berjudul “Transformasi Pemikiran Al-Ghazali Tentang Kepemimpinan di Jawa Pada Abad 17-19: Kajian Atas Naskah Nasihat Al-Muluk Koleksi PNRI Serta Kaitannya Dengan Kiprah Sultan Banten Abul Mafakhir dan Pangeran Diponegoro” di BRIN Gatot Subroto Jakarta, Kamis (16/10).
Hasil sementara dari penelitian yang dilakukan adalah menguak fakta penting terkait literatur yang menjadi rujukan Pangeran Diponegoro. Manuskrip kuno berjudul “Nasihat al-Muluk” (NM) karya Imam al-Ghazali, yang menjadi salah satu bacaan Pangeran Diponegoro, terkonfirmasi berasal dari Kasemen, Banten, pada abad ke-17. Dengan kata lain, terkonfirmasi memiliki asal-usul yang lebih tua dari perkiraan sebelumnya.
Terkait dengan koneksi sejarah, naskah NM yang sama, pada dua abad sebelumnya (abad ke-17), juga dijadikan acuan oleh Sultan Banten Abul Mafakhir dalam memimpin dan mengetahui kesejahteraan rakyatnya. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam NM tentang keadilan, pengangkatan pejabat, semangat memajukan rakyat, dan perlindungan kaum perempuan, dipraktikkan langsung oleh Sultan Abul Mafakhir.
Temuan yang dipaparkan dalam rangka Peringatan 200 Tahun Perang Jawa (1825-2025) ini. Memperkuat bukti adanya kesinambungan pemikiran tentang kepemimpinan yang adil melalui NM, antara dua tokoh besar dari Jawa (Pangeran Diponegoro) dan Banten (Sultan Adul Mafakhir). Pangeran Diponegoro sendiri diketahui merujuk pada NM saat menasihati Hamengku Buwono IV dan ketika berdialog dengan Kyai Maja.
Sementara itu, Mashuri periset PR MLTL BRIN, membahas makalah bertajuk “Jaringan Sastra Suluk Pasca Perang Jawa (1825-1830)”. Penelitinya berupaya menjawab pertanyaan bagaimana transformasi dan jaringan sastra suluk tersebut? Pergeseran ini terekam jelas dalam naskah Suluk Syekh Majenun yang menjadi objek penelitiannya.
Hasil temuan dan analisinya yaitu, terdapat sembilan naskah suluk Syekh Majenun, tetapi yang dihadirkan hanya enam naskah. Dari enam naskah tersebut terpilah menjadi dua versi, yaitu versi Keraton dan versi Pesisiran.
Versi Keraton terdiri atas satu naskah, dikenal sebagai Serat Sittin. Sebelum perang, suluk Keraton sempat berhaluan heterodoks. Namun, Serat Sittin yang disadur di Keraton Yogyakarta pasca-perang (1847) atas prakarsa Sultan Hamengkubuwana V justru isinya sangat kental dengan ortodoksi atau ketaatan kepada peraturan dan ajaran resmi.
Sementara itu, versi Pesisiran terdiri atas lima naskah secara umum disebut Suluk Syekh Majenun yang semuanya memiliki relasi dengan pesantren. Menyebar di wilayah Rembang, Tuban, Lamongan, dan Madura. Ketersebaran ini diyakini sebagai ekses dari Perang Jawa, di mana banyak ulama menyebar mendirikan pesantren. Penelitian ini menggarisbawahi adanya pergeseran orientasi dan pola jaringan sastra suluk pasca-Perang Jawa.
Dalam kesimpulannya, Mashuri mengatakan bahwa “Dinamika dan pergeseran orientasi teks-teks sufi pasca-Perang Jawa dapat dilihat pada sastra suluk. Hal itu karena sastra suluk memiliki fungsi sosial-keagamaan dalam masyarakat Jawa dengan modus transformasi tertentu, meskipun terkesan sastra sebagai sarana,” jelasnya.
“Relasi Islam dan budaya Jawa yang mengejawantah atau menjelma dalam sastra suluk berdasar pada intelektualitas, iman, dan keindahan,” tutupnya.
Muhamad Rosadi dan tim yang juga merupakan periset dari PR MLTL BRIN menjelaskan hasil penelitiannya tentang “Kitab al-Ḥikam dalam Terjemahan: Jejak Transmisi Ilmu dan Dinamika Silang-Budaya di Dunia Islam Melayu”.
Rosadi mengungkapkan bahwa proses penerjemahan Al-Hikam merupakan transformasi linguistik dan kultural. Tujuannya, selain menelusuri peran transmisi ilmu keislaman, juga menunjukkan interaksi antara teks Arab dengan konteks lokal Melayu.
Secara substansi, Al-Hikam berisi aforisme spiritual atau pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum tentang tawakal, ikhlas, dan penyucian hati. Teks ini telah lama diajarkan dalam berbagai tarekat seperti Syattariyah, Qadiriyah, dan Naqsyabandiyah, serta menjadi materi utama di halaqah dan pesantren.
Transmisi Al-Hikam di Melayu menunjukkan evolusi yang signifikan sejak abad ke-17 hingga ke masa kini. Adaptasi kultural juga terlihat melalui penggunaan istilah lokal seperti hikmat, maqam hati, dan nur qalb. Selain itu, terjadi pergeseran aksara dari Jawi ke Rumi, dan pergeseran tempat pengajaran dari pesantren ke media digital.
Rosadi mengatakan, “Penerjemahan al-Ḥikam adalah praktik kultural yang hidup. Mencerminkan interaksi antara teks Arab dan religiositas Melayu serta menjadi sarana transmisi ilmu, moral, dan identitas Islam lokal,” pungkasnya.
SATUJABAR, BANDUNG - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung bersama PT Persib Bandung Bermartabat (PBB) resmi meluncurkan…
SATUJABAR, JAKARTA - Pelatih Tim Nasional Sepakbola U23, Indra Sjafri, menyambut positif keputusan Ketua Umum…
SATUJABAR, KUDUS - Di tengah ketatnya persaingan hari kedua PON Bela Diri Kudus 2025, Ketua…
DEPOK - bank bjb kembali menunjukkan konsistensinya dalam mendukung program pemerintah untuk memperkuat sektor Usaha…
SATUJABAR, BOGOR--Polisi mengungkap motif wanita pelaku pencurian dengan membobol rumah mertuanya di Kabupaten Bogor, Jawa…
SATUJABAR, JAKARTA--Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan 12 sampel liquid, atau cairan untuk 'ngevape', rokok elektrik,…
This website uses cookies.