BANDUNG – Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi Lisan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Heryana, menjelaskan bahwa salah satu bentuk pengetahuan lokal tentang astronomi dapat ditemukan dalam manuskrip Sunda. Manuskrip ini tidak hanya menyajikan informasi tentang benda-benda langit, tetapi juga mengandung nilai-nilai spiritual yang mendalam.
Agus menjelaskan bahwa dalam naskah Sunda, fenomena alam seperti matahari, bulan, dan bintang sering digunakan sebagai penunjuk arah untuk menentukan waktu dan tempat. Selain itu, sistem penanggalan dan arah mata angin juga dibahas, terutama dalam naskah Paririmbon, untuk membantu masyarakat dalam merencanakan kegiatan dan meraih keberuntungan.
“Keberadaan benda-benda langit digunakan untuk menggambarkan perjalanan ruh manusia dalam mencapai kebahagiaan tertinggi bersama Tuhan, melalui ciptaan-Nya, yakni alam semesta,” ujar Agus.
Manuskrip Sunda dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, termasuk agama, bahasa, hukum, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan, dan sastra. Namun, Agus mencatat bahwa hingga saat ini, belum ada manuskrip yang membahas astronomi secara khusus; topik tersebut lebih sering muncul dalam ungkapan metaforis.
Penelusuran terbaru mengungkapkan bahwa sejumlah manuskrip pra-Islam dari abad 14-15, seperti Siksakanda Karesian dan Sewaka Darma, serta naskah-naskah dari masa Islam, seperti Wawacan Pandita Sawang, mengandung pengetahuan astronomi yang menarik.
Masyarakat Sunda juga mencatat berbagai nama benda langit, antara lain matahari (panonpoe), bulan, dan bintang, yang semuanya terlihat jelas dengan mata telanjang. Posisi benda-benda langit ini mencerminkan kesucian dan ketinggian, dengan langit sebagai representasi yang tak terjangkau.
Agus menambahkan bahwa sistem penanggalan merupakan sumbangan terpenting astronomi dalam kehidupan manusia. Di kalangan masyarakat, terdapat empat jenis tahun yang dikenal: tahun Saka, Hijrah, Jawa, dan Masehi, masing-masing berdasarkan peredaran bumi dan bulan.
“Perhitungan tahun Saka dan Masehi mengikuti peredaran bumi mengelilingi matahari, sedangkan tahun Hijriah dan Jawa berdasarkan peredaran bulan,” pungkas Agus dikutip dari situs BRIN.