SATUJABAR, JAKARTA – Beberapa bulan terakhir, publik dikejutkan oleh temuan zat radioaktif cesium-137 (Cs-137) yang mencemari lingkungan di Kawasan Industri Modern (KIM) Cikande, Serang, Banten. Pemerintah mengonfirmasi bahwa cemaran radioaktif tersebut, yang awalnya terdeteksi pada udang beku ekspor asal Indonesia, berasal dari kontainer perusahaan eksportir berjarak sekitar dua kilometer dari sumber lokal pencemar, yakni pabrik pengolah besi bekas PT Peter Metal Technology (PMT).
Menyikapi hal itu, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Cesium-137 (Cs-137) bergerak cepat melakukan mitigasi di kawasan industri serta pemukiman, untuk mencegah meluasnya dampak radiasi dan melindungi kesehatan masyarakat maupun pekerja. Jalur keluar-masuk kawasan kini diawasi ketat menggunakan portal monitor radiasi (radiation portal monitor/RPM) guna mendeteksi dan menahan potensi sebaran radiasi.
Menurut Perekayasa Ahli Muda Pusat Riset Teknologi Analisis Berkas Nuklir – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dian Fitri Atmoko, RPM dipasang di gerbang keluar KIM Cikande sebagai langkah cepat memantau kendaraan yang meninggalkan area. “Tujuannya jelas, agar kontaminasi Cs-137 tidak menyebar ke luar kawasan. Kami harus memastikan setiap kendaraan yang keluar dari area Cikande aman dari paparan radiasi,” katanya, saat diwawancara Humas BRIN, Selasa (4/11).
BRIN menerima informasi tentang dugaan paparan radiasi di Cikande pada akhir September 2025. Tim survei kemudian memetakan area terdampak dan mengukur laju dosis paparan. Hasilnya menunjukkan, paparan Cs-137 tidak hanya berada di lokasi pabrik PMT, tetapi juga telah menyebar melalui udara dan debu ke sejumlah area industri sekitar. “Paparan di beberapa titik cukup tinggi. Karena itu, Satgas di bawah komando Kementerian Lingkungan Hidup meminta kami segera memasang RPM di jalur keluar kawasan industri,” jelas Dian melalui keterangan Humas BRIN.
Infrastruktur Harus Stabil
Pemasangan RPM tidak dilakukan sembarangan. Tim BRIN mencari titik lokasi dengan laju dosis latar rendah agar alat bekerja optimal tanpa gangguan paparan alami. Lokasi dipilih di depan Gedung Modernland Cikande dengan laju paparan di bawah 0,05 mikrosievert per jam.
Selain faktor teknis, tim juga mempertimbangkan infrastruktur seperti listrik, jaringan komunikasi, dan ruang kendali. “Karena alat ini beroperasi 24 jam nonstop, butuh sistem kelistrikan yang stabil dan ruang kontrol untuk mengoperasikan Central Alarm System (CAS),” ujarnya.
Dalam waktu kurang dari tiga minggu, RPM berhasil dipasang dan diuji di lapangan. Tim bahkan menyesuaikan desain fondasi agar tidak merusak infrastruktur jalan. “Awalnya kami rancang fondasi permanen dan jalur kabel di bawah beton jalan, tapi pihak pengelola mengharapkan desain fondasi tidak banyak mengubah infrastruktur jalan. Akhirnya kami pakai rangka baja portabel yang dikunci dengan dynabolt chemical sedalam 30 sentimeter,” tutur Dian.
Alat seberat 300 kilogram itu mulai beroperasi pada 21 Oktober 2025 pukul 23.50 WIB dan sejak itu bekerja nonstop. Data operasional menunjukkan hasil positif: tren kontaminasi menurun signifikan. “Artinya, dengan proses dekontaminasi yang dilakukan tim gabungan Satgas, efeknya luar biasa. Laju dosis di kendaraan menurun, jumlah kendaraan terkontaminasi semakin sedikit,” ucapnya.
Apa Itu RPM dan Bagaimana Cara Kerjanya
Secara sederhana, RPM adalah perangkat pendeteksi pasif untuk menyeleksi pejalan kaki, kendaraan, atau objek lain yang membawa bahan nuklir atau radioaktif. RPM bekerja dengan prinsip deteksi radiasi gamma. Di Cikande, sistem yang digunakan adalah RPM Gross, yang berfungsi mendeteksi peningkatan radiasi tanpa mengidentifikasi jenis isotopnya.
RPM jenis ini cocok untuk jalur lalu lintas padat karena kendaraan cukup melintas dengan kecepatan 8–10 km per jam. “Kalau pakai RPM spektroskopi yang bisa mengenali jenis isotop, kendaraan harus berhenti beberapa detik untuk analisis energi sinar gamma. Itu tidak mungkin di kawasan industri dengan ribuan kendaraan setiap harinya. Setelah terdeteksi melebihi ambang batas, baru digunakan spektroskopi untuk detailnya,” jelas Dian.
RPM Cikande dilengkapi empat detektor gamma berbahan plastik sintilator, dengan sensitivitas energi 60 keV hingga 3 MeV. Semua sistem dikendalikan melalui Central Alarm System yang mencatat setiap peristiwa dan data alarm bila laju radiasi melebihi ambang batas.
Jejak Panjang Riset RPM
Pengembangan RPM di Indonesia telah dimulai sejak 2015 oleh tim peneliti BATAN (kini BRIN), terinspirasi oleh meningkatnya kekhawatiran global pasca-tragedi nuklir Fukushima, Jepang. “Setelah Fukushima, ada keinginan pemerintah agar pelabuhan dan bandara di Indonesia memasang RPM buatan dalam negeri untuk memantau barang impor,” tutur Dian.
Dari 2015 hingga 2023, riset RPM menunjukkan kemajuan pesat dengan menghasilkan tujuh jenis RPM. Pada 2015 lahir RPM15, alat deteksi berbasis plastik sintilator untuk kendaraan kecil. Setahun kemudian, hadir RPM16 dengan detektor NaI(Tl) dan detektor neutron untuk area berisiko tinggi, seperti reaktor nuklir.
Tahun 2018, lahirlah RPM PPTI, sistem spektroskopi untuk kendaraan besar dan kargo hasil kolaborasi BATAN, UGM, dan PT LEN. Khusus RPM16 dan RPM PPTI telah dilakukan uji sertifikasi merujuk pada SNI IEC 62244:2016.
Penelitian berlanjut dengan RPM Pedestrian portable dan RPM Pedestrian dua arah pada 2020, disusul RPM Pedestrian multisensor pada 2021–2023 yang tidak hanya mendeteksi radiasi, tetapi juga logam, suhu tubuh, dan wajah manusia. Inovasi terbaru hadir pada 2023 melalui RPMG21-1 dan RPMG21-2, generasi RPM terkini untuk kendaraan besar dengan sistem modular yang lebih compact dan mudah pemeliharaannya.
Tiga di antaranya kini telah didaftarkan paten nasional, yakni RPM Pedestrian portable, RPM Pedestrian multisensor, dan RPM untuk kendaraan besar dengan sistem modular.
“Kita dulu sempat kerja sama dengan PT LEN untuk uji sertifikasi. Semua alat kita lolos, tapi waktu itu industri belum tertarik karena belum ada pasar yang jelas. Baru setelah kasus Cikande, teknologi ini dilirik lagi,” kenang Dian.
Mengapa RPM Penting untuk Indonesia?
Indonesia memiliki 172 pelabuhan, namun hanya tujuh di antaranya yang memiliki RPM. Ketujuh RPM tersebut merupakan hibah dari International Atomic Energy Agency (IAEA) sejak awal 2000-an, dan kini hanya empat unit yang masih berfungsi.
“Pelabuhan di Tanjung Priok mulai memasang RPM sendiri bekerja sama dengan perusahaan lokal, tapi sifatnya sewa. Bayangkan, negara sebesar Indonesia cuma punya empat RPM yang bekerja,” kata Dian prihatin.
“Sementara Malaysia punya lebih dari 40 unit untuk satu Pelabuhan Klang. Itu sebabnya kita tidak tahu apakah scrap metal atau kontainer impor membawa bahan radioaktif,” tambahnya.
Kondisi ini berisiko tinggi bagi keamanan nasional. Walaupun Indonesia tidak memiliki PLTN, berbagai sumber radioaktif buatan digunakan luas dalam industri dan medis. “Di rumah sakit ada Cs-137, di industri ada iridium-192 dan cobalt-60 untuk uji tak rusak (NDT). Kalau sumber itu bocor atau hilang dan tidak terdeteksi, risikonya besar,” tegasnya.
RPM juga penting dipasang di bandara, kawasan industri strategis terutama peleburan baja, stasiun, dan perbatasan negara, untuk mendeteksi pergerakan material radioaktif ilegal. “Banyak orang pikir radiasi itu cuma urusan nuklir, padahal zat radioaktif bisa disalahgunakan untuk hal-hal berbahaya,” tambahnya.
Hilirisasi
Kini fokus BRIN beralih pada hilirisasi produk agar bisa diproduksi massal oleh industri nasional. “Tugas kami sebagai peneliti sudah sampai pada paten. Selanjutnya tinggal bagaimana lisensinya diberikan ke industri,” jelas Dian.
Namun, ada satu tantangan besar, yakni ketergantungan impor detektor. “Detektor gamma masih kita beli dari luar negeri, dan waktu tunggu bisa sampai empat bulan. Kalau industri dalam negeri bisa memproduksi detektor sendiri, itu akan jadi lompatan besar,” ujarnya.
Selain melindungi masyarakat dari risiko paparan radiasi, pemasangan RPM juga memiliki arti strategis secara ekonomi dan diplomatik. “RPM bukan cuma soal keselamatan, tapi juga soal reputasi ekspor. Kalau pelabuhan kita punya RPM, lalu produk kita dituduh terpapar radiasi di luar negeri, kita bisa buktikan bahwa sebelum ekspor sudah lolos deteksi,” kata Dian.
Sebaliknya, tanpa sistem pemantauan, Indonesia tidak memiliki dasar untuk membantah tuduhan semacam itu. “Kita tidak punya bargaining position,” tegasnya.
Meski proyek riset RPM secara teknis telah ditutup pada 2024, Dian menyebut masih ada peluang pengembangan pada perangkat lunak dan sistem kecerdasan buatan. “Target kami berikutnya adalah membuat RPM yang bisa menganalisis sendiri hasil deteksi tanpa operator manusia. Begitu alarm bunyi, sistem langsung menentukan apakah sumbernya alami, buatan, atau anomali lingkungan. Tentu harapan kami bisa berkolaborasi dengan industri,” terangnya.
Prototipe RPM terbaru bahkan telah dilengkapi sensor cuaca untuk memantau arah angin, suhu, dan kelembaban. “Misalnya setelah hujan, gas radon naik dan memicu alarm. Dengan sensor cuaca, kita tahu itu faktor alam, bukan kebocoran,” jelasnya.
Kasus radiasi Cikande menjadi pengingat bahwa ancaman radiasi tidak selalu datang dari reaktor nuklir, melainkan bisa muncul dari aktivitas industri sehari-hari. “Jangan tunggu kasus berikutnya untuk sadar pentingnya pemantauan radiasi. RPM bukan hanya alat, tapi benteng pertahanan tak terlihat yang menjaga kita semua,” tutup Dian.

