Di sebuah rumah sederhana di Blok Kali Song, Desa Parean, Kecamatan Kandanghaur, Indramayu, seorang gadis remaja mengurung diri di kamarnya. Namanya Adelia Nur Safitri — siswi kelas XII SMK Muhammadiyah Kandanghaur.
Sudah dua hari ini ia tak muncul di sekolah. Hari-hari yang seharusnya ia isi dengan ujian tengah semester yang dimulai sejak Selasa (16/9/2025), malah ia habiskan dalam diam dan gelisah. Bukan karena sakit atau malas belajar. Tapi karena satu hal yang membebani pikirannya: tunggakan uang sekolah.
Rp 4,9 juta — angka yang tak kecil bagi keluarga nelayan seperti keluarganya. Ayahnya, Subrata, sudah lama tak melaut. Ibunya, Yanti, hanya seorang ibu rumah tangga. Pendapatan yang tak menentu, kebutuhan yang terus berjalan. Maka tak heran, biaya sekolah pun menjadi beban berat.
Adelia tahu benar, orangtuanya sedang berjuang. Maka saat pihak sekolah memanggilnya dan mengingatkan soal tunggakan itu, ia hanya bisa terdiam. Ia tahu, tak mudah bagi ayah dan ibunya mencari uang dalam kondisi seperti sekarang. Maka ia memilih mundur — tak ikut ujian, dan mengurung diri.
Ibunya, Yanti, bercerita dengan suara lirih.
“Kartu ujiannya sudah dikasih, tapi katanya kalau belum ada cicilan, sementara nggak bisa ikut ujian. Saya bingung, Pak, mau bayar pakai apa. Nggak ada pemasukan sama sekali,” ujarnya, menahan tangis.
Padahal pihak sekolah tak benar-benar melarang. Rizky, wali kelas Adelia, menjelaskan bahwa sekolah hanya berharap ada sedikit pemasukan — agar tunggakan bisa berkurang. Ujian tetap boleh diikuti, tapi siswa diminta menyampaikan kondisi ke orangtua.
“Kami tidak pernah melarang Adelia ikut ujian,” jelas Rizky.
“Kami hanya meminta ada itikad baik dari orangtua, meski itu mencicil sedikit demi sedikit.”
Adelia sendiri pernah menerima bantuan dari Program Indonesia Pintar (PIP), sebesar Rp 1,8 juta. Tapi jumlah itu belum cukup untuk menutupi semua tunggakan sejak awal ia masuk sekolah.
Kini, hari-hari ujian tengah semester terus berjalan. Tapi Adelia masih di kamarnya — bersama rasa malu, bingung, dan putus asa. Di usia yang seharusnya menjadi masa penuh semangat dan cita-cita, ia justru harus berhadapan dengan kenyataan pahit tentang pendidikan yang belum sepenuhnya bisa digapai semua anak.