BANDUNG – 47 Komoditas mineral kritis menurut Pemerintah Indonesia sehingga perlu ditempuh berbagai kebijakan dan strategi untuk menjaga pasokan komoditas mineral strategis yang terbatas itu tetap dapat mendukung program transisi energi.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar webinar Professor Talk, bertajuk “Potensi Hilirisasi Material Kritis dan Strategis dalam Perspektif Infrastruktur dan Industri Nasional”, Kamis, 30 Mei 2024.
Menurut siaran pers BRIN, Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dianugerahi kekayaan alam yang melimpah.
Termasuk sumber daya mineral dan logam strategis.
Di antara kekayaan tersebut, material-material seperti nikel, besi, logam tanah jarang (LTJ), tembaga, kobalt, dan titanium menonjol sebagai komoditas utama dalam mendukung industri nasional.
Namun, perlu diingat bahwa sumber daya alam ini terbatas.
Wakil Kepala BRIN Amarulla Octavian menyatakan, ketersediaan material-material strategis tersebut pada suatu titik akan mengalami penurunan dan mengarah pada keadaan kritis jika tidak dikelola dengan bijaksana.
“Dengan mengelola sumber daya alam yang dimiliki secara efektif, Indonesia dapat mengurangi dampak lingkungan yang terkait dengan impor material dan mempercepat pembangunan berkelanjutan,” katanya.
47 Komoditas Mineral Kritis, Ekspor Perlu Dibatasi
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Metalurgi BRIN Efendi mengungkapkan, sebaiknya, produksi nikel untuk ekspor dibatasi antara 30 hingga 40 persen. Sedangkan sisanya bisa dipakai untuk industri di dalam negeri.
Selain itu, perlunya mengembangkan produksi nikel untuk baterai mobil listrik, paduan produk nikel dan serbuknya, dan pengembangan industri senyawa nikel.
“Untuk pengembangan industri nikel diperlukan diversifikasi produk selain stainless steel dan baterai listrik. Selain itu, perlunya dorongan regulasi yang bisa menjamin kondusivitas industri nikel di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Material Maju BRIN Wisnu Ari Adi menjelaskan, LTJ merupakan material kritis dunia karena dinilai memiliki prospek strategis di masa depan.
“Proyeksi kebutuhan akan LTJ di dunia meningkat seiring dengan pengembangan energi hijau atau energi yang bersifat lebih ramah lingkungan,” katanya.
Sedangkan Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Metalurgi BRIN Andika Widya Pramono mengungkapkan tantangan dalam proses hilirisasi berbagai mineral strategis seperti tembaga, kobalt, dan titanium. Diantaranya, intensif serta kebijakan pemerintah seperti fiskal dan non-fiskal. Serta, tembok perdagangan yang dibangun negara lain, khususnya Uni Eropa yang melarang atau membatasi produk-produk dari luar.
“Diperlukan strartegi yang tepat dan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan akademisi. Sehingga, bisa memaksimalkan potensi sumber daya alam, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif,” tandasnya.