Tutur

Waduk Jatiluhur Digagas Sejak Jaman Kolonial Belanda

Pembangunan waduk ini telah digagas sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia oleh W.J. van Blommestein, seorang ahli pengairan asal Belanda, guna memanfaatkan derasnya aliran Sungai Citarum untuk mengairi lahan pertanian.
Pada saat itu, di musim hujan, Sungai Citarum kerap meluap dan menyebabkan banjir di Bekasi dan Karawang, sehingga menyulitkan kegiatan pertanian.
Selain itu, banjir juga kerap menggenangi jalan raya Jakarta – Cirebon, sehingga terkadang membuat para pelintas harus berhenti dan menginap di Karawang atau Cikampek.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1957, pemerintah pun menugaskan PLN untuk membangun bendungan dari waduk ini.
PLN kemudian menunjuk Coyne et Bellier asal Prancis untuk merancang bendungan. Karena dibangun oleh PLN, maka waduk ini awalnya dirancang untuk membangkitkan listrik melalui PLTA.
Pembangunan PLTA tersebut pun awalnya mendapat banyak kritik, karena kapasitas terpasangnya direncanakan mencapai 125 MW, padahal kebutuhan listrik di Jakarta saat itu sebenarnya sudah dapat dipenuhi hanya dengan kapasitas terpasang sebesar 50 MW.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Pengairan kemudian juga ingin memanfaatkan air yang tertampung di waduk ini untuk mengairi lahan pertanian yang ada di hilir waduk.
Caranya membangun Bendung Curug untuk membagi air yang keluar dari waduk ini ke tiga saluran irigasi, yakni Tarum Timur, Tarum Barat, dan Tarum Utara, yang masing-masing dapat difungsikan untuk mengairi lahan pertanian seluas sekitar 80.000 hektar.
Departemen Pekerjaan Umum akhirnya menetapkan bahwa waduk ini terutama akan difungsikan untuk mengairi lahan pertanian.
Sebab berdasarkan perhitungan yang dilakukan saat itu, air yang tertampung di waduk ini akan lebih ekonomis jika digunakan untuk mengairi lahan pertanian daripada untuk membangkitkan listrik, sebab kepala hidraulik dari waduk ini tidak terlalu besar.

PELETAKAN BATU PERTAMA

Waduk ini kemudian mulai dibangun pada tahun 1957 dengan batu pertamanya diletakkan oleh Presiden Ir Soekarno.
Waduk ini lalu diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 26 Agustus 1967. Pembangunan waduk ini menelan biaya sebesar US$ 230 juta.
Waduk ini membuat 4 desa tergenang penuh dan 11 desa lainnya tergenang sebagian, sehingga 5.004 orang penduduk harus dipindahkan ke lokasi lain.
Sebagian dipindahkan ke sekitar bendungan dan sebagian lainnya dipindahkan ke Kabupaten Karawang. Sebagian besar penduduk yang dipindahkan saat itu bekerja sebagai petani.
Waduk ini dirancang berumur layanan sampai 200 tahun, tetapi dengan selesainya pembangunan Waduk Cirata dan Waduk Saguling, umur layanan waduk ini diperkirakan mencapai 276 tahun dari tahun 1987.
Setelah selesai dibangun, waduk ini dikelola oleh sebuah perusahaan negara (PN) yang diberi nama PN Jatiluhur, yang kemudian diubah statusnya menjadi sebuah perusahaan umum (Perum) dengan nama Perum Otorita Jatiluhur pada tahun 1970, dan kemudian diubah namanya menjadi Perum Jasa Tirta II pada tahun 1999.[2]

PEMANFATAAN

Di dalam Waduk Jatiluhur, terpasang 6 unit turbin dengan daya terpasang 187 MW dengan produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun, yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II.
Selain dari itu, Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air irigasi untuk 240.000 hektar sawah (dua kali tanam setahun), air baku, air minum, budi daya perikanan, dan pengendali banjir, yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II.
Selain berfungsi sebagai PLTA dengan sistem limpasan terbesar di dunia, kawasan Waduk Jatiluhur memiliki banyak fasilitas rekreasi yang memadai, seperti hotel dan bungalow, bar dan restaurant, lapangan tenis, bilyard, perkemahan, kolam renang dengan water slide, ruang pertemuan, sarana rekreasi dan olahraga air, playground dan fasilitas lainnya. Sarana olahraga dan rekreasi air misalnya mendayung, selancar angin, kapal pesiar, ski air, boating dan lainnya.
Di perairan Waduk Jatiluhur juga terdapat kegiatan budidaya ikan keramba jaring apung, yang menjadi daya tarik tersendiri.
Di waktu siang atau dalam keheningan malam, pengunjung dapat memancing penuh ketenangan sambil menikmati ikan bakar.
Di kawasan ini pula, pengunjung dapat melihat Stasiun Satelit Bumi milik PT Indosat Tbk. (±7 km dari pusat Kota Purwakarta), yang difungsikan sebagai alat komunikasi internasional.
Jenis layanan yang disediakan antara lain international toll free service (ITFS), Indosat Calling Card (ICC), international direct dan lainnya.
Editor

Recent Posts

Andri El Faruqi dan Andika D Khagen Terpilih Aklamasi Ketua dan Sekretaris AMSI Sumbar Periode 2024-2028

SATUJABAR, BANDUNG - Pasangan pimpinan media di Sumatera Barat CEO Langgam.id Andri El Faruqi dan…

10 jam ago

bank bjb Raih 2 Penghargaan Indonesia Best Financial Awards 2024, Kategori Best Brand Popularity & Best Social Contribution Reputation

JAKARTA – bank bjb terus memperkuat posisinya di industri perbankan melalui berbagai inovasi yang memudahkan…

10 jam ago

Tingkatkan Kualitas Jalan, Tol Cipali Tambah Lajur Ketiga di KM 87 -110

Pada pekan ke-19 pekerjaan, penambahan lajur ketiga di ruas Tol Cipali telah melampaui target realisasi.…

11 jam ago

Petugas Dinkes Gadungan Hipnotis dan Gasak Emas Warga, Lima Pelaku Dicokok Polisi

Para tersangka berpura-pura menawarkan pengobatan terapi gratis kepada korban, tapi kemudian dihipnotis. SATUJABAR, CIREBON –…

11 jam ago

Ditemui Perawat Se-Jabar, Dedi Mulyadi Ungkap Revolusi Kesehatan

Kang Dedi akan melakukan banyak perubahan yang cepat dan signifikan terkait penataan kesehatan di Jabar.…

11 jam ago

Polsek Karangpawitan Gerebek Arena Judi Sabung Ayam di Garut

BANDUNG - Polsek Karangpawitan Polres Garut melakukan penggerebekan di sebuah arena sabung ayam yang terletak…

11 jam ago

This website uses cookies.