Polemik ‘denda damai’ bagi koruptor adalah rentetan dari objek kritik banyak kalangan terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
SATUJABAR, JAKARTA — Menteri Hukum Supratman Andi Agtas meminta maaf atas polemik ‘denda damai’ sebagai jalur konstitusional pemberian pengampunan terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi.
Supratman sadar, pandangannya terkait polemik ‘denda damai’ hanya berlaku pada jenis tindak pidana bidang ekonomi yang merugikan perekonomian negara, maupun keuangan negara.
Meskipun, dikatakan dia, dalam tindak pidana korupsi unsur tentang kerugian keuangan negara, dan kerugian perekonomian negara, pun ada.
Kesamaan unsur tersebut, menurut Supratman memberikan alternatif jalur penyelesaian yang sama. Yaitu melalui ‘denda damai’.
“Saya meluruskan menyangkut soal ‘denda damai’. Yang saya maksudkan itu adalah mengkompare, atau membandingkan karena undang-undang tindak pidana korupsi, atau juga undang-undang Kejaksaan Agung, khususnya terhadap tindak pidana ekonomi, keduanya itu adalah tindak pidana yang merugikan keuangan negara yang merugikan perekonomian negara,” ujar Supratman saat konfrensi pers di Kementerian Hukum di Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Namun, kata dia, dua jenis tindak pidana tersebut diatur dalam dua perundangan yang berbeda. ’Denda damai’ yang dijadikan rujukannya, mengacu pada Undang-undang (UU) 11/2021 tentang Kejaksaan Agung (Kejagung).
Beleid tersebut memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung membuka ruang hukum di luar pengadilan untuk penyelesaian tindak pidana di bidang perekonomian. Sementara dalam tindak pidana korupsi, mengacu pada UU 31/1999 dan 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan UU Tipikor tak menyediakan mekanisme penyelesaian nonyudisial.
“Jadi sekali lagi, terkait dengan isu ‘denda damai’ itu adalah hanya mengkompare menyangkut soal penyelesaian suatu tindak pidana di luar pengadilan. Itu saja intinya,” ucap dia.
“Kalaupun nanti ada yang salah mengerti dengan apa yang saya ucapkan, saya menyatakan mohon maaf. Tetapi saya katakan, itu adalah hanya contoh atau komparasi terhadap penyelesaian tindak pidana yang terkait dengan yang merugikan ekonomi negara, di bidang tindak pidana ekonomi, dengan tindak pidana korupsi,” ujar Supratman.
Polemik tentang ‘denda damai’ bagi koruptor adalah rentetan dari objek kritik banyak kalangan terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan amnesti dan abolisi terhadap 44 ribu narapidana.
Pemberian ampunan dan penghapusan pidana tersebut belakangan melebar karena dikhawatirkan banyak pihak bakal diberikan juga kepada para koruptor, atau narapidana tindak pidana korupsi.
Kekhawatiran tersebut menguat setelah Presiden Prabowo dari Kairo, Mesir berpidato akan memberikan maaf dan ampunan terhadap koruptor yang bersedia mengembalikan hasil malingnya ke kas negara, Rabu (18/12/2024).
Pidato Presiden Prabowo tersebut diterjemahkan jajaran pembantunya di Kementerian Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan dengan menguatkan dalil konstitusional seorang kepala negara dalam pemberian amnesti, abolisi, grasi, maupun rehabilitasi terhadap narapidana.
Supratman menerangkan, dalil konstitusional kepala negara tersebut terang adanya dalam Pasal 14 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. ”Disampaikan dalam Undang-undang Dasar (UUD) kita, memberikan hak pemberian amnesti, abolisi, ataupun grasi, dan rehabilitasi kepada Bapak Presiden untuk semua jenis tindak pidana,” ujar Supratman.
Namun, dia menegaskan, hingga kini, penyampaian Presiden Prabowo yang akan memberikan maaf, ataupun pengampunan terhadap narapidana-narapidana korupsi itu juga tak berlanjut dengan adanya arah realisasinya.
Karena, Supratman memastikan, dari daftar 44 ribu narapidana yang rencananya masuk dalam program pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden Prabowo, tak ada satupun narapidana kasus korupsi.
“Menyangkut soal amnesti (dan abolisi) yang 44 ribu yang sementara kami siapkan, sama sekali dari 44 ribu itu tidak ada satupun terkait dengan kasus korupsi,” kata Supratman..
“Jadi sekali saya tegaskan, dari 44 ribu itu tidak ada satupun yang terkait dengan kasus korupsi. Sama sekali nggak ada,” tegas dia.
Akan tetapi, kata Supratman, publik juga harus mahfum kewenangan konstitusional Presiden Prabowo sebagai kepala negara yang dapat memberikan program amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi terhadap pelaku-pelaku tindak pidana, termasuk para narapidana kejahatan korupsi.
“Mau tindak pidana apapun Presiden diberikan hak untuk memberikan itu. Tetapi apakah Presiden akan menjalankan itu? Kita masih menunggu apa kebijakannya. Tetapi kalau pertanyaan boleh atau tidak? Boleh,” ujar Supratman.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, memang lembaganya yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan ‘denda damai’. ‘Denda damai’ itu, kata dia, mengacu pada Pasal 35 ayat (1) huruf k UU 11/2021 tentang Kejagung.
“Dinyatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan kewenangan menangani tindak pidana yang menyebabkan kerugian perekonomian negara, dan dapat menggunakan ‘denda damai’ dalam tindak pidana ekonomi berdasarkan perundang-undangan,” begitu ujar Harli.
‘Denda damai’, mengacu UU Kejaksaan adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan pembayaran denda yang disetujui oleh Jaksa Agung terhadap pelaku yang berperkara tindak pidana ekonomi. Namun kata Harli menegaskan, mekanisme ‘denda damai’ tak menyentuh perkara-perkara tindak pidana korupsi.
“Penyelesaian ‘denda damai’ yang dimaksud dalam pasal tersebut, adalah untuk sektor-sektor tertentu dalam tindak pidana ekonomi,” kata Harli.
Dia mencontohkan, dari beberapa pengalaman yang sudah dilakukan, terkait tindak pidana kepabeanan, dan cukai. Sedangkan untuk penanganan perkara-perkara korupsi, prinsip ‘denda damai’ tak berlaku.
“Sedangkan penyelesaian tindak pidana korupsi, Kejaksaan Agung tetap mengacu pada ketentuan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dengan pengenaan pasal-pasal dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Harli.
Kata Harli, teoritis mekanisme ‘denda damai’ bisa saja diterapkan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Namun kata dia, harus dengan memasukkan jenis tindak pidana korupsi ke dalam kualifikasi tindak pidana ekonomi dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k UU 11/2021. (yul)
BANDUNG - Kendaraan tinggalkan jabodetabek tembus 1,3 juta kendaraan menurut data PT Jasa Marga (Persero)…
TASIKMALAYA – Menjelang malam pergantian tahun, Polres Tasikmalaya Kota semakin intensif menggelar razia minuman keras…
BANDUNG – Suasana lalu lintas di Jakarta terpantau lenggang pagi ini, seiring dengan pergerakan signifikan…
SATUJABAR, BANDUNG - Lebih dari 131 ribu kendaraan meninggalkan wilayah Jawa Barat saat libur Natal…
Kapolri geram dan menugaskan anak buahnya untuk melakukan tindakan tegas. SATUJABAR, BANDUNG -- Tempat wisata…
Puluhan video itu akan menggemparkan masyarakat apabila dirilis ke publik dan disebut akan mengubah peta…
This website uses cookies.