Sate Maranggi. (Foto Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Purwakarta)
PURWAKARTA – Di antara kepulan asap yang menari dari panggangan, aroma manis gurih menguar ke udara, menggelitik hidung siapa pun yang melintas. Ya, itulah sate maranggi, kuliner khas Kabupaten Purwakarta yang kini tak hanya menjadi primadona lokal, tapi juga dikenal luas sebagai ikon rasa dari Jawa Barat.
Di sepanjang jalan raya Bungursari, Plered, hingga Purwakarta-Wanayasa, jejeran warung sate maranggi berdiri nyaris tanpa jarak. Asap dari bara arang yang membakar tusukan daging domba atau sapi tak pernah berhenti mengepul — seakan menjadi napas kuliner daerah ini.
Lebih dari Sekadar Sate
Bukan tanpa alasan sate maranggi begitu digemari. Potongan kecil daging sapi atau domba yang telah dibumbui dengan racikan rempah dan sedikit sentuhan gula aren, lalu dipanggang perlahan di atas bara api, menghasilkan rasa yang meresap hingga ke serat daging. Tak perlu saus kacang. Cukup sambal dadakan atau tomat, bahkan kadang disajikan dengan sambal oncom dan ketan bakar — paduan yang sederhana, namun menggugah.
Jejak Sejarah dari Dapur Para Pekerja
Meski kini telah menjelma jadi kuliner yang dielu-elukan, sate maranggi sejatinya lahir dari kreativitas dan keterbatasan. Konon, asal usul sate ini bermula dari para pekerja peternakan domba di Kecamatan Plered, Purwakarta.
Daging sisa potong yang tak bisa langsung dimasak akhirnya mereka akali dengan cara direndam dalam bumbu rempah dan sedikit gula aren, agar awet dan tetap lezat. Dari dapur sederhana itulah, resep legendaris ini mulai dikenal masyarakat sekitar.
Namun saat itu, hidangan ini belum punya nama pasti. Hingga akhirnya, sebuah warung sate milik seorang perempuan bernama Mak Anggi menjadi titik balik.
Sate buatan Mak Anggi terkenal seantero Plered, hingga pelanggannya mulai menyebutnya dengan nama sate Mak Anggi. Seiring waktu, penyebutannya berubah menjadi Makanggi, dan akhirnya melebur dalam lidah masyarakat menjadi “maranggi”.
Dari Kampung ke Kota, Dari Dapur ke Dunia
Dari satu warung di Plered, sate maranggi kini telah menyebar ke berbagai kota — dari Cianjur, Sukabumi, hingga Subang. Masing-masing daerah mengembangkan variasi sendiri. Seperti di Cibungur, sate maranggi disajikan dengan sambal tomat yang segar, sementara di Wanayasa, sajian ini dilengkapi dengan ketan bakar dan sambal oncom sebagai pengganti nasi.
Meskipun ragam pelengkap dan cara penyajian berbeda, satu hal yang tetap menjadi jiwa dari sate maranggi adalah: bumbu rempah dan gula aren yang meresap dalam daging, serta semangat menjaga warisan leluhur.
Lebih dari Kuliner, Ini Warisan Budaya
Kini, sate maranggi tak hanya dijual di warung kaki lima, tapi juga hadir di festival kuliner, restoran mewah, bahkan menjadi bagian dari jamuan resmi daerah. Bukan hanya tentang rasa, sate maranggi adalah cerita tentang identitas, ketekunan, dan rasa cinta pada akar budaya.
Di balik setiap tusukan sate maranggi, ada kisah panjang yang hangat: tentang bagaimana makanan bisa menyatukan, menghidupkan ekonomi lokal, dan menjadi bagian dari kebanggaan suatu daerah.
Karena sate maranggi bukan sekadar kuliner — ia adalah warisan, yang terus hidup dari bara ke bara.
Sumber: Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Purwakarta
SATUJABAR, BOGOR--Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Galuga, yang berada di wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor,…
SATUJABAR, INDRAMAYU--Wanita muda berusia 21 tahun bernama Putri Apriyani, ditemukan tewas mengenaskan dengan wajah gosong…
SATUJABAR, BANDUNG--Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mencanangkan program Piala Anugerah Panca Waluya sebagai upaya meningkatkan…
SATUJABAR, BANDUNG--Polresta Bandung, Jawa Barat, bekerjasama dengan Perum Bulog, menggelar gerakan pangan murah dengan harga…
SATUJABAR, BANDUNG – Harga emas Antam Senin 11/8/2025 dikutip dari situs PT Aneka Tambang Tbk…
JAKARTA - Kementerian Pariwisata (Kemenpar) resmi mengumumkan 15 pelaku pariwisata terpilih dalam program Wonderful Indonesia…
This website uses cookies.