Tutur

Husein Sastranegara, Sang Perintis TNI AU

Husein Sastranegara adalah salah seorang di antara tokokh-tokoh yang ikut serta mengabdikan dirinya dalam pembinaan perjuangan bersenjata pada masa-masa revolusi fisik, khususmya pertahanan udara.
Sayangnya semangat pengabdian dan kesediaan berkorban sebagai patriot Tanah Air tidak bisa dilaksanakan lebih lama.
Almarhum hanya dapat menyumbangkan tenaganya bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam waktu setahun lebih sedikit dan hanya dalam waktu lima bulan saja setelah Angkatan Udara RI resmi didirikan.
Meskipun kesempatan berbakti kepada Tanah Air yang dicintainya begitu pendek, tidaklah menghilangkan sama sekali nilai-nilai jasa perjuangannya, terutama dalam masa-masa berkecamuknya perjuangan fisik mati-matian menghadapi agresi Belanda.
Semasa hidupnya Husein Sastranegara telah memberikan teladan yang tak ternilai kepada generasi penerus, baik di bidang kejuangan, kemauan yang keras dalam menggapai cita-cita, maupun tekadnya yang kuat untuk mengetahui dan menguasai teknologi penerbangan pada masanya.
Kekerasan kemauan dan tekadnya serta kerelaan berkorban dem perjuangan telah tercermin dalam diri Husein Sastranegara.
Pandangan-pandangannya yang jauh kedepan ikut meletakan pondasi yang penting bagi pembangunan TNI Angkatan Udara, yang kelak menjadi pancangan kaki yang kokoh bagi pengembangan suatu kekuatan Angkatan Udara yang modern di kemudian hari. Siapa sebenarnya Husein Sastranegra?

ANAK PANGREH PERAJA

Dari latar belakang keluarga, Husein Sastranegara adalah keturunan ningrat Priangan dan golongan menengah Bumputera. Baik dari pihak ayah maupun ibu, darah biru mengalir dalam diri Husein Sasatranegara dan 13 saudaranya yang lain.
Ayah Husein, Rd. Demang Ishak Sastranegara adalah seorang Pangreh peraja (Demang) jaman Belanda dan pernah menjabat sebagai Wedana Ujung Berung, Pejabat Bupati di Tasikmalaya selama 17 bulan dan Patih Tasikmalaya.
Sang ayah adalah putera tunggal Rd. Askad Sastranegara, seorang Onder Collecteur Pensiun Sumedang.
Sedangkan ibunya Rd Katjih Lasminingroem, putri Rd. Wiranata, Onder Collecteur Pensiun Cicalengka. Mereka menikah di Kadungora Garut pada tanggal 16 Oktober 1907.
Beberapa catatan sejarah memang mencatat tempat dan tanggal kelahiran Husen Sastranegara berbeda-beda.
Namun berdasarkan catatan Yayasan Wangi Demang Sastranegara disebutkan bahwa Husein Sastranegara lahir di Cilaku Cianjur pada tanggal 20 Januari 1919, sebagai anak kedelapan dari 14 bersaudara.
Kondisi lingkungan keluarga dan jamannya, terutama dengan status pekerjaan orang tua pejabat di lingkungan pemerintahan Hindia Belanda, memberi pengaruh kuat pada cara pandang dan gaya hidup pemuda Husein.
Sudah menjadi sesuatu yang umum pada saat itu anak-anak dari keluarga kelas menengah Bumiputera menjadikan gaya hidup berat sebagai sesuatu yang ideal.
Cara pandang dan gaya hidup seperti itu tidak selalu berdampak buruk justru memberi manfaat positif pada diri Husen.
Misalnya ia sama sekali tidak dihinggapi perasaan rendah diri (inferiority complex) yang biasanya menjadi persoalan tersendiri bagi warga pribumi, terutama jika berhadapan dengan orang-orang Belanda.
Bahkan sisi positif lainnya adalah terbentuknya sosok pemuda Husein dengan cita-cita dan angan-angan yang sangat tinggi. Menurut keterangan istri Husein Ny. Koriyati Mangkuratmaja, cita-cita Husein adalah ingin menjadi seorang perwira.
Mula-mula Husein sekolah di Europese Legere School (ELS) di Bandung. Ini tentunya setingkat sekolah Dasar (SD) di jaman sekarang. Setelah itu Husein melanjutkan ke Hoger Burger School (HBS) di Bandung , tapi kemudian pindah ke HBS KW DRI di Jakarta.
Begitu lulus HBS tahun 1939 Husein menjadi mahasiswa di Technische Hoge School (THS) di Bandung (sekarang ITB).

PERANG DUNIA II

Pecahnya perang Dunia II pada tahun 1939 berdampak langsung pada nasib sekolah dan perjalanan hidup Husein. Jerman menduduki Belanda .
Menyadari posisinya itulah pemerintah Hindia Belanda menerapkan siasat menarik simpati rakyat Indonesia dengan memberi kelonggaran kepada pemuda Indonesia mencoba karir hidupnya di bidang penerbangan militer.
Kesempatan tersebut ditanggapi sebagai peluang besar yang menjanjikan oleh Husein.
Tanpa ragu husein pun mengambil keputusan meninggalkan bangku kuliahnya dan mendaftarkan dir ke sekolah Militare Luchvaart School atau disebut juga Luchtvaart di Kalijati Subang pada tahun 1939.
Husein termasuk salah satu dari 10 orang pemuda pribumi yang diterima untuk mengukuti pendidikan perwira penerbang.
Pada tahun itu sebenarnya ada peristiwa sejarah penting yang digabungkan Sekolah Penerbang yang berlokasi di Kalijati Subang dengan Sekolah Pengintai di Lapangan Andir Bandung.
Dari 10 orang siswa yang masuk hanya lima orang yang berhasil mendapat brevet penerbang , yakni Husein Sastranegara, Agustinus Adisutjipto , Sambodja Hurip, Sulistiyo dan Sujono.
Kelima orang siswa penerbang yang lulus tersebut kelak menjadi perintis dalam dunia penerbangan di tanah air. Pendidikan bagi angkatan pertama itu berakhir tahun 1940.
Sayangnya Husein Sastranegara gagal meneruskan pendidikan penerbang lanutannyad Bandung.
Bersama dengan dua orang rekannya, yakni Sujono dan Sulistyo, Husein hanya mendapat KMB (Kleine Militaire Brevet) atau lisensi menerbangkan pesawat – pesawat bermesin tunggal. Sedangkan yang mendapatkan GMB (Groote Militaire Brevet ) hanya Agustinus Adisutjipto dan Sambudjo Hurip.

AWAL KARIR INSPEKTUR POLISI

Karena kurangnya syarat tersebut maka rencana semula untuk memasuki Sekolah penerbang Darurat di Bandung manjadi terhalang.
Kegagalan tersebut menyebabkan Husein ganti haluan dan pada tahun 1941 memasuki pendidikan Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi,.
Sementara itu Jepang telah ikut mengambil bagian dalam Perang Dunia yang mulai mengadakan ekspansi ke Asia Tenggara dan akhirnya bisa menduduki Indonesia.
Setelah kurang lebih dua tahun mengikuti pendidikan Inspektur Polisi (Keibuhoo) dan mengingat kebutuhan Jepang pada saat tu, meski belum lulus Husein langsung diangkat menjadi Inspektur Polisi di Sukabumi.
Husein kemudian dipindahkan menjadi Kepala Polisi di Sukanagara Cianjur dan menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, Husein dipindahkan lagi sebagai pejuang dan kusuma bangsa dimulai dalam pengabdiannya sebagai pejuang dan kusuma bangsa dimuali dari jalur kepolisian.
Menyerahnya bala tentara Jepang kepada Sekutu yang kemudian disusul dengan pergolakan revolusi fisik mendorong bergabung dengan Barisan keamanan Rakyat (BKR) di Bogor dan menjabat sebagai salah satu komandan pada devisi yang dibentuk oleh Didi Kartasasmita.
Tetapi pertentangan yang terjadi antara dirinya dengan atasannya menyebabkan Husein mengundurkan diri dari kesatuan tersebut dan memasuki kesatuan BKR Bandung bagian Resmen Kuda yang belum diorganisir.
Perjalanan hidupnya tanpaknya menggariskan Husein harus kembali ke jalur penerbangan. Sekitar bulan September-Oktober 1945 Husein dipanggil oleh Suryadi Suryadarma (KSAU) yang waktu itu sebagai pimpinan BKR Penerbangan.
Panggilan itu berkaitan dengan kebutuhan mengurus Lapangan Udara Andir (sekarang Lanud Husein Sastranegara) yang baru saja berhasil direbut para pejuang RI. Husein dipercaya untuk mengurus Lapangan Udara Andir.

HIJRAH

Sayangnya, tugas itu belum sempat dilaksanakan Husein. Pasalnya, baru saja Husen melapor Suryadarma, beredar kabar bahwa Lapangan Udara Andir dapat dikuasai kembali oleh tentara Jepang dan pimpinan diambil alih oleh Inggris melalui Jepang.
Tidak saja Lapangan Udara Andir, Bandung pun harus ditinggalkan para pejuang RI, termasuk Husein di dalamnya, Husein pun kemudian ikut hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta dan turut bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian penerbangan.
Di Yogyakarta inilah mulai disusun dan dibina pertahanan kekuatan udara. Pada waktu itu tenaga penerbang dirasakan sangat dibutuhkan. Ketika sekolah penerbangan pertama kali dibuka, Husein termasuk salah seorang dari siswanya.
Mereka berasal dari berbagai pendidikan mulai dari pemilik brevet sampai kepada mereka yang belum pernah terbang sama sekali.
Mereka bermodal tekad yang sama, berusaha untuk ikut serta menjadi pejuang dalam memperkuat pertahanan tanah air tercinta.
Pada tanggal 9 April 1946 TKR bagian penerbangan statusnya diubah menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang berdiri sendiri.
Setelah selesai mengikuti pendidikan Sekolah Penerbangan Lanjutan di Yogyakarta, Husen langsung diangkat sebagai instruktur di sekolah penerbangan tersebut merangkap sebagai perwira operasi AURI.
Pada periode tahun 1945-1946 AURI masih sibuk dengan “penerbitan” materiil yang berupa pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang dan belum melakukan operasi-operasi yang bersifat ofensif penyerangan.
Konsolidasi ke dalam dilakukan dengan mengadakan hubungan-hubungan udara melalui pangkalan-pangkalan yang masih dikuasa RI.
Dalam hubungan inilah Husein sangat aktif dalam menerbangkan dan mencoba pesawat-pesawat rongsokan peninggalan Jepang sperti Curen (sering disebut juga dengan cureng) Cukiu dan pembom Hayabusha Diponegoro 1.
Pada tanggal 21 Mei 1946 Husein telah mengadakan penerbangan formasi dari Lapangan Udara Maguwo di Yogyakarta ke lapangan Udara Gorda di Serang.
Pada tanggal 10 Juni 1946 penerbangan formasi lima buah pesawat Curen dari Yogyakarta ke Cibeureum Tasikmalaya dalam rangka peresmian pembukaan lapangan terbang tersebut. Juga penerbangan lebih jauh ke Barat dilakukan pada tanggal 23 Juli 1946 sampai ke lapangan Gorda di Banten (Serang) dengan pesawat pembom Diponegoro 1, Husein pernah pula terbang dari Maguwo Yogyakarata ke Maospati dan bahkan pada tanggal 13 September 1946, Husein masih menerbangkan pesawat Curen untuk menaburkan bunga dalam upacara pemakaman Tarsono Rujito di Salatiga.

GUGUR SAAT UJI TERBANG

Takdir Tuhan bagi Husein. Belum juga tahun 1946 berakhir, Husein telah dipanggil menghadap-Nya. Waktu itu tanggal 26 September 1946 dan pangkat terakhirnya sebagai Mayor Udara.
Suatu isyarat rupanya telah memberi alamat pada kakak tertuanya lewat suatu mimpi. Dalam mimpi tersebut Husein dengan salah seorang saudara laki-lakinya yakni Rd. Ibrahim Sastranegara, terapung-apung hanyut di tengah-tengah gelombang lautan yang deras. Ternyata kemudian memang dua orang putra Rd. Ishak Sastranegara ini gugur dalam perjuangan bangsanya..
Pada akhir September 1946 Husein mendapatkan tugas melakukan test fight (uji terbang) sebuah pesawat Cukiu di atas kota Yogyakarta.
Pesawat rongsokan peninggalan tentara Jepang itu rencananya akan digunakan untuk mengangkut Perdana Menteri RI Sutan Syahril menuju Malang. Test flight saat ini memang harus dilakukan dan membutuhkan kesiapan jiwa raga para penerbangnya karena pesawat-pesawat peninggalan Jepang tersebut sebetulnya masuk kualifikasi tidak layak terbang.
Pesawat Cukiu yang diterbangkan Husen mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Lor Yogyakarta sekaligus menewaskan Husein bersama juru teknik Rukidi. Husein meninggalkan seorang istri Ny. Koriyati Mangkuratmaja dengan tiga putera yang masih balita.

NAIK PANGKAT

Sebagai penghargaan negara atas jasa-jasa Husein yang telah mengabdikan diri kepada tanah air, maka pangkatnya dinaikan dari Mayor Udara menjadi (Anumerta) Komodor Udara sederajat Kolonel Udara sekarang.
Selain itu, jabatan terakhir Husein adalah sebagai instruktur di Sekolah Penerbangan Yogyakarta merangkap Perwira Operasi AURI.
Berkat jasa-jasanya, Husein mendapat sejumlah anugrah tanda jasa dari pemerintah seperti Bintang Garuda, Bintang Satyalencana Perang Kemerdekaan RI, Piagam Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI Tahun 1957.
Selain itu, berkat jasa-jasa dan nilai-nilai kepahlawanan yang telah diabadikannya kepada bangsa dan negara, nama Husen Sastranegara diabadikan untuk mengganti Pangkalan Udara Andir sejak tanggal 17 Agustus 1952 berdasarkan Keputusan Kasau No. 76 Tahun 1952.
Husein dianggap sebagai salah seorang pejuang dan perintis yang telah meletakan dasar-dasar pembangunan di bidang penerbangan nasional.
Husein gugur sebagai pahlawan dalam usia yang relatif masih muda yakni 27 tahun dan jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.
Sumber:
https://tni-au.mil.id/sejarah-singkat/?fbclid=IwAR2TQXXpG3QB40ouOvyJKRnPqKtndOf30bbjExPyiDDhv6dTODYWgSds8f4
Editor

Recent Posts

Ganda Putra Indonesia Juarai China Open 2025

CHANGZHOU - Ganda putra Indonesia, Fajar Alfian/Muhammad Shohibul Fikri, juara China Open 2025 untuk nomor…

8 jam ago

16 Anak Jadi Tersangka Duel Maut SMP di Cianjur, Dipicu Saling Ejek di Medsos

SATUJABAR, CIANJUR--Polisi telah menetapkan 16 anak sebagai tersangka dalam kasus perkelahian siswa Sekolah Menengah Pertama…

10 jam ago

2 Mahasiswa Ikopin Hilang di Pantai Puncak Guha Garut, Pencarian Dihentikan

SATUJABAR, GARUT--Poses pencarian terhadap dua mahasiswa Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), yang hilang di Pantai Puncak…

11 jam ago

Kementerian Ekraf Serius Dukung Esports, FORNAS VIII 2025 Jadi Penguat Ekosistem Gim Indonesia

MATARAM - Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menunjukkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan industri gim dan…

21 jam ago

Pemkab Garut Akan Adopsi Model Pengembangan Industri Tembakau ala Kudus

KUDUS - Pemerintah Kabupaten Garut berencana mengadopsi model pengembangan industri tembakau yang telah diterapkan dengan…

21 jam ago

Albert Januarta Raih Gelar Juara Dunia di World Pool Championship Junior 2025

BANDUNG - Kabar membanggakan datang dari dunia olahraga Indonesia. Atlet biliar muda asal Kepulauan Riau,…

21 jam ago

This website uses cookies.