Tutur

Petisi Soetardjo Ternyata Dilontarkan Gubernur Jabar Pertama

SATUJABAR, BANDUNG – Petisi Soetarjo ternyata dilontarkan oleh seseorang yang menjabat Gubernur Jawa Barat pertama.

Nama lengkapnya adalah Dr. K.P.H. Soetardjo Kartohadikoesoemo (Soetardjo Kartaningprang, lahir di Kunduran, 22 Oktober 1892 – 20 Desember 1976).

Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Beliau adalah Gubernur Jawa Barat, dan berkantor di Jakarta.

Soetardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Soetardjo.

Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda.

Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.

 

Latar belakang

Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo lahir di Desa Kunduran, sebuah desa yang berada Blora, 22 Oktober 1892.

Ayahnya bernama K.NG.Kartoredjo adalah wedana Bancar, Kabupaten Tuban, keturunan keluarga pemerintahan dari Madura.

Sedangkan ibunya bernama Mas Ayu Kartoredjo keturunan keluarga pemerintahan dari Banten.

 

Pendidikan

Soetardjo mengawali pendidikan formalnya dari ELS (Europeesche Lagere School). Setelah tamat dari ELS, Soetardjo melanjutkan ke Opleiding School voor Indlandsche Ambtenaren (OSVIA, sekolah menegah pamong praja bumiputra) di Magelang.

 

Karier

Soetardjo mengawali karier sebagai birokrat saat menjadi hulpschriver (pembantu juru tulis) di Rembang pada 1911. Pada tahun yang sama ia diangkat menjadi juru tulis jaksa kemudian mantri kabupaten. Pada 1913, Soetardjo menjabat sebagai asisten wedana.

Pada 1915, ia menyandang jabatan jaksa di Rembang. Kinerja yang baik membawa Soetardjo ke Batavia untuk sekolah di Bestuurschool antara 1919 dan 1921. Di sana, ia memimpin redaksi kalawarta Oud Osviaan. Pada 1919, Soetardjo membuat tulisan dalam pamflet yang berisikan keluhan dan diskriminasi yang dialami pamong praja bumiputra.

Setelah menyelesaikan pendidikan, Soetardjo kembali ke Rembang hingga menjadi wedana. Pada tahun 1929, saat menjadi patih di Gresik, ia terlibat dalam pembentukan Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB) dan terpilih sebagai wakil ketua, sedangkan Bupati Bandung R. A. A. Wiranatakusuma V menjadi ketuanya.

 

Karir Politik

Dari PPBB, Soetardjo melenggang ke Volksraad. Pada 1931, ia bertolak ke Batavia, bertugas mewakili PPBB dan pemerintahan Jawa Timur. Dalam sidang pertama Volksraad, Ia terpilih sebagai anggota College van Gedelegeerde Volksraad atau Badan Pekerja Dewan Rakyat. PPBB berhaluan moderat progresif dan tergolong beroposisi terhadap pemerintah

Pada 1932, Soetardjo mendukung pengajuan petisi Husni Thamrin kepada pemerintah untuk menggunakan sebutan “orang Indonesia” mengganti kata inlander alias ‘pribumi’ dalam tata hukum, badan-badan di bawahnya, dan dokumen-dokumen resmi pemerintah.

Memasuki paruh kedua 1930, para tokoh politik seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir diasingkan ke pelosok Hindia demi stabilitas politik. Efek depresi ekonomi global juga menyebabkan penghematan besar-besaran oleh pemerintah kolonial yang berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Soetardjo protes menyaksikan keadaan yang merugikan masyarakat, seperti pengurangan gaji, pemecatan, pembatasan kesempatan pendidikan dan kebijakan pemerintah yang bersifat mencurigai. Kebijakan pemerintah Belanda pada saat itu menyebabkan Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi pada 5 Februari 1933.

Pada Juli 1936, Soetardjo merancang petisinya yang kemudian dikenal sebagai Petisi Soetardjo. Isi petisi adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama.

Petisi itu akhirnya diputuskan lewat pemungutan suara. Hasilnya diterima dengan 26 suara setuju, 20 suara menolak.

Keputusan Kerajaan baru diperoleh dua tahun kemudian, tepatnya pada 16 November 1938 yang mengukuhkan penolakan terhadap Petisi Soetardjo. Kerajaan berpendapat bahwa rakyat Hindia Belanda belum matang untuk mempersiapkan sebuah pemerintahan sendiri.

 

Pada masa pendudukan Jepang, 1942, Soetardjo Kartohadikoesoemo memimpin departemen dalam negeri atau Naimubu Sanyo.

Ia menjadi anggota badan perwakilan bentukan Jepang, Tjhoeo Sangi-in dan anggota Poetera (Pusat Tenaga Rakyat).

Editor

Recent Posts

Lagi, Polisi Tangkap Oknum Dokter PPDS Cabul Merekam Mahasiswi Mandi

SATUJABAR, DEPOK - Oknum dokter kembali mencederai dunia kedokteran, setelah melakukan perbuatan tercela. Kali ini,…

1 jam ago

Bayar ke Travel Rp 200 Juta, Pemberangkatan 10 Jamaah Haji Ilegal di Bandara Soetta Digagalkan

Jamaah haji ilegal ini akan bertolak ke Tanah Suci menggunakan penerbangan Malindo Air tujuan Jakarta-Malaysia…

2 jam ago

BSI Bidik Rekening Tabungan Haji Bisa Tembus 6,7 Juta Pada 2025

Setiap tahunnya, rata-rata 83 persen jamaah haji Indonesia menabung tabungan haji di BSI. SATUJABAR, JAKARTA…

3 jam ago

Dukungan Pertachem Dalam Hilirisasi Industri Strategis Nasional Menuju Swasembada Energi

Kolaborasi strategis bersama PT Indonesia BTR New Energy Material merupakan komitmen Pertachem pada hilirisasi produk…

4 jam ago

BP Haji Siap Jadi Penyelenggara Haji Secara Penuh di 2026

BP Haji terus melakukan evaluasi dan percepatan penyempurnaan sistem penyelenggaraan, khususnya dari sisi pengawasan dan…

4 jam ago

Gilang Ramadhan Temui Bupati Sumedang, Siap Kembangkan Ekonomi Berbasis Budaya di Tanah Leluhur

BANDUNG - Musisi sekaligus drummer legendaris Gilang Ramadhan menemui Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir di…

4 jam ago

This website uses cookies.