BANDUNG – Candi Borobudur merupakan obyek penting dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kajian keanekaragaman hayati. Candi ini memiliki lebih dari 1.460 relief yang menceritakan banyak hal, seperti Karmawibhangga dan Lalitavistara. Terkait flora dan fauna, lebih dari 80 spesies tumbuhan dan fauna telah teridentifikasi dari kedua narasi cerita tersebut dengan makna kemunculan yang belum banyak diketahui dalam cerita tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi (PRBE), Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (ORHL), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Arif Nurkanto, saat membuka webinar “Session of Sharing” ke-55 dengan topik “Panel Rahasia: QUEER! Narasi Panel Cerita Flora Fauna dan ‘Post Human’ Karmawibhangga Borobudur”, Kamis (24/10).
“Pertanyaan yang muncul adalah apakah relief-relief tersebut hanya dekoratif atau memiliki makna simbolis. Ini menjadi topik penting yang belum sepenuhnya terpecahkan sejak penelitian dimulai pada tahun 1920,” terang Arif.
Pada “Session of Sharing” Ibnu Maryanto membahas dari segi kajian “Cognitive Science” atau multidisiplin ilmu biologi, filosofi, filologi, antropologi, arkeologi dan agama budaya meskipun yang dibahas hanya 1-2 panel. Dari pandangan cognitive memperlihatkan holistiksasi panel cerita telah melampaui atau telah terbahaskan secara detail di masa abad ke 7-8.
Narasumber Ibnu Maryanto, Profesor Riset dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, menjelaskan bahwa Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-7 dan ke-8, menyimpan banyak rahasia, termasuk panel-panel relief Karmawibhangga yang tersembunyi di bawah tanah. Ketersembunyian Panel-panel tersebut memang sengaja tidak diperlihatkan kepada publik untuk melindungi struktur candi, sesuai dengan keputusan UNESCO.
“Kajian multidisiplin terhadap relief ini melibatkan ahli flora, fauna, filologi, etnografi, dan antropologi, arkeologi, budaya dan agama dengan menggunakan pendekatan queer-ecology yang mengeksplorasi hubungan antara flora, fauna, dan manusia dalam relief Karmawibhangga, telah mengeluarkan kognitifikasi di atas nalar yang bisa dipraktekkan di kehidupan masa sekarang atau pelaksanaan budaya sebenarnya jauh lebih maju di era abad Borobudur awal didirikan,” ungkap Ibnu.
Salah satu publikasi terbaru, Queering Tropical Heritage: Flora and Fauna Reliefs in Karmawibhangga Borobudur Temple, Indonesia, merupakan sebuah penemuan baru cara pandang kesetaraan antara Antara Anthropocentris, flora, fauna dan benda-benda post human lainnya tidak hanya prinsip hukum karma yang diperlihatkan, tetapi juga dapat digunakan dalam pengelolaan alam sekaligus indikator penting ekologi.
Ibnu menambahkan, melalui pendekatan intra-tekstual, ekstra-tekstual, dan queer-ecology tropis, kajian ini menyoroti peran penting flora dan fauna dalam warisan budaya tropis, serta bagaimana mereka melihat flora, fauna dan alam setara dengan manusia, mematahkan hierarki atau undoing normativity yang umum dianggap berlaku.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa Borobudur tidak hanya menonjolkan aspek artistik, tetapi juga menentang norma-norma yang mapan. Kajian dengan perspektif queer ecology ini mempromosikan kesetaraan antara manusia, hewan, tumbuhan, alam, dll serta mengusulkan strategi dekonstruktif untuk mengurangi diskriminasi didalam kehidupan bermasyarakat, dan realitanya fauna, dan flora yang sering terpinggirkan. Dengan demikian mendorong adanya interaksi yang lebih adil dalam konteks sosial, budaya, dan ekologi,” jelasnya.
“Relief Karmawibhangga, yang memiliki 160 panel, menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga kematian melalui hukum sebab-akibat (karma). Penggambaran flora dan fauna di relief ini menunjukkan detail yang sangat akurat, memberikan wawasan tentang kekayaan alam yang diabadikan oleh pemahat. Identifikasi tumbuhan dan hewan yang diukir membantu memahami makna di balik relief tersebut,” rinci Ibnu.
Ibnu Maryanto menjelaskan bahwa Relief Karmawibhangga di Candi Borobudur merupakan catatan komprehensif yang mencakup dimensi seni, budaya, dan kemasyarakatan masyarakat Jawa Kuno. Relief ini tidak hanya berfungsi sebagai ornamen, tetapi juga sebagai sarana penyampaian ajaran penting, khususnya tentang konsep dasar Panca Skanda sebuah ajaran penting dalam umat Buddha. Dalam relief tersebut, digambarkan bagaimana tindakan manusia berinteraksi dengan lingkungan, serta konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukan.
Salah satu elemen kunci dalam Karmawibhangga adalah penggambaran flora dan fauna. Ornamen-ornamen ini tidak hanya sebagai hiasan, tetapi juga memiliki tujuan mendalam, yaitu menggambarkan nilai-nilai ajaran budaya serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Flora dan fauna dalam relief ini berfungsi sebagai simbol penting yang mengajarkan pelajaran moral, sosial, dan spiritual.
“Dekonstruksi dan rekonstruksi penggambaran flora dan fauna dalam Karmawibhangga menjadi langkah penting dalam memahami lebih dalam makna yang terkandung di dalamnya. Melalui pendekatan ini, kita dapat melihat bagaimana ornamen-ornamen tersebut bukan hanya sekadar hiasan artistik, tetapi sebagai bagian integral dari ajaran dan budaya Jawa Kuno yang kompleks,” ujar Ibnu.
Dengan demikian, relief Karmawibhangga menjadi lebih dari sekadar karya seni; ia adalah sumber pembelajaran mendalam tentang kehidupan, interaksi manusia dengan alam, serta nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat pada masa itu.
“Relief flora dan fauna di panel Borobudur menunjukkan proporsi yang akurat dan mendalam, memberikan wawasan tentang kekayaan alam yang diabadikan oleh para pemahat. Identifikasi tumbuhan dan hewan ini sangat penting untuk memahami makna di balik relief tersebut,” jelas Ibnu.
Dirinya mengatakan, kajian ini juga melihat Borobudur sebagai lebih dari sekadar tempat ibadah; banyak yang percaya bahwa candi ini juga berfungsi sebagai pusat pembelajaran pada zamannya. Dengan relief yang menggambarkan simbol flora dan fauna, kita dapat melihat jejak biodiversitas, serta hubungan antara manusia dan alam yang telah dipelajari sejak dahulu.
“Sebenarnya Borobudur adalah sebuah “BOOK STONE UNIVERSITY”, kajian filsafat ilmu kehidupan terbahaskan di rangkaian panel-panel dan stupa mulai dari bawah hingga ke puncak,” ungkap Ibnu.
Salah satu kesulitan dalam kajian ini yaitu ketika mengambil kesimpulan dalam identifikasi flora dan fauna, ternyata pemahat sengaja membuatnya bentuk struktur morfologi flora dan fauna baru bisa teridentifikasi jika dilihat dari sudut pandang ke atas, ke bawah dan depan. Semua hasil identifikasi dan cara pandang untuk mengidentifikasinya kesemuanya memiliki makna yang berbeda-beda dan penuh arti.
Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis flora dan fauna disingkapkan di posisi kanan, tengah dan kiri ternyata memberikan makna penting dalam menarasikan cerita. Sebagai contoh kehadiran fauna di setiap panel menunjukkan waktu (pagi, siang, sore, malam) dan lokasi kejadian, serta melambangkan nilai sosial budaya tertentu. Flora, di sisi lain, melambangkan kehidupan manusia dan menggambarkan keanekaragaman tumbuhan yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa Kuno.
Penelitian ini menunjukkan bahwa naskah-naskah seperti Candra/Surya Sangkala, Primbon, Pawukon, Usada, dan Babad memainkan peran penting dalam menafsirkan simbol flora dan fauna pada relief Borobudur. Oleh sebab itu, istilah Borobudur as BOOK STONE UNIVERSITY perlu digaungkan.
Sumber: brin.go.id
Indikator Politik mendapati kecenderungan peningkatan elektabilitas bisa makin terus naik sampai pada hari H pemungutan…
BANDUNG - Pasangan ganda campuran Indonesia, Dejan Ferdinansyah dan Gloria Emanuelle Widjaja (6), berhasil meraih…
SATUJABAR, JAKARTA-- Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Setyo Budiyanto terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasam Korupsi (KPK)…
BANDUNG - Jonatan Christie (6) berhasil mengalahkan Lu Guang Zu dari China dengan skor 21-8,…
SATUJABAR, BANDUNG – Ketua KPK terpilih Setyo Budiyanto untuk masa jabatan 2024-2029. Setyo terpilih melalui…
Proyek ini mendapatkan pengawalan dan pengamanan intensif dari Jamintel Kejaksaan Agung RI. SATUJABAR, JAKARTA --…
This website uses cookies.