Tutur

Dari Galuh, Wilayah Ini Berubah Menjadi Air Amis Alias Ciamis

BANDUNG – Ciamis dulunya bernama Galuh. Sejumlah pejabat, tokoh masyarakat dan warga Ciamis ingin kembali mengubah nama Ciamis menjadi Galuh.

Lalu kenapa namanya berubah dari Galuh menjadi Air Amis alias Ciamis?

Dikutip dari buku ‘Galuh Dari Masa ke Masa’ yang ditulis oleh Prof Nina Lubis, Lahirnya Kabupaten Galuh tak terlepas dengan sejarah runtuhnya Kerajaan Sunda pada 1579 akibat serangan Sultan Maulana Yusuf dari Banten.

Selepas Kerajaan Sunda runtuh, Kerajaan Galuh yang dipimpin Maharaja Sanghyang Cipta berdiri sendiri hingga tahun 1595. Pusat kekuasaannya dari Cimaragas hingga Manonjaya (Tasikmalaya).

Pada tahun 1595, Senapati, pendiri dinasti Mataram mulai melirik wilayah ini dan kemudian menanamkan pengaruh politik di Kerajaan Galuh. Pada saat itu Prabu Galuh Cipta Permana memindahkan pusat Kerajaan Galuh ke Gara Tengah (Cineam).

Sepeninggal Maharaja Sanghyang Cipta, wilayah Galuh terbagi jadi 3 pusat kekuasaan, yakni di Gara Tengah, Kertabumi dan Kawasen.

Pada tahun 1601, suksesi kepemimpinan di Mataram dari Panembahan Senapati kepada Sultan Agung berdampak pada kehidupan politik di Kerajaan Galuh. Sultan Agung mulai memperkuat kekuasaan politiknya di Galuh. Ia mengangkat Adipati Panaekan sebagai Wedana Mataram di Galuh.

Galuh yang semula adalah kerajaan berubah statusnya menjadi kabupaten. Sedangkan gelar raja atau prabu pun berubah menjadi adipati.

Saat itu Mataram dan Sultan Agung menyerang Batavia. Hal ini berdampak dengan intrik politik di wilayah Galuh. Adipati Panaekan pun dibunuh dan digantikan oleh Mas Dipati Imbanagara.

Ketika Mataram gagal merebut Batavia, Mas Dipati Imbanagara pun bersekongkol dengan Bupati Bandung, Adipati Ukur. Diketahui, Ukur merupakan komandan pasukan Mataram yang melakukan pemberontakan untuk membebasakan wilayah Priangan dari Mataram.

Pada tahun 1636, Sultan Agung pun menghukum mati Dipati Imbanagara karena memberontak. Sultan Agung kemudian mengangkat anaknya Imbanegara, Mas Bongsar menjadi Bupati Galuh. Ia mendapat gelar Raden Panji Aria Jayanegara.

Sultan Agung menyarankan kepada Mas Bongsar agar menggunakan nama ayahnya, Imbanagara, sebagai nama wilayahnya. Sehingga sejak tahun 1636, nama Kabupaten Galuh berakhir dan menjadi Kabupaten Imbanagara.

Sejak saat itu, Kabupaten Imbanagara merupakan salah satu pusat kekuasaan di Galuh. Selain Bojonglopang (Kertabumi) dan Kawasen. Tahun 1641, wilayah Galuh pecah menjadi 5 kabupaten. Yakni Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasan dan Banyumas.

Mas Bongsar merasa wilayahnya merupakan daerah yang menyimpan kenangan buruk. Ayah dan kakeknya terbunuh sebagai korban pertentangan politik. Untuk itu, ia memindahkan ibu kota kabupaten ke Calingcing, lalu ke Panyingkiran dan terakhir di Barunay pada 12 Juni 1642. Barunay kemudian berubah nama menjadi Imbanagara. Mas Bongsar memerintah selama 42 tahun.

VOC

Konflik di Galuh pun berlanjut setelah terjadi perebutan kekuasaan di Mataram. Amangkurat berhasil menjadi raja Mataram dengan bantuan VOC.

Dalam perjanjian, Amangkurat menyerahkan wilayah Priangan Timur sebagai balas jasa kepada VOC karena telah membantu perebutan kekuasaan di Mataram. Wilayah Priangan dan Galuh pun resmi beralih ke VOC, Bupati Imbanagara saat itu adalah RA Angganaya.

Pada tahun 1805, VOC mengabungkan tiga kabupaten di Priangan Timur menjadi satu dan memberinya nama Kabupaten Galuh.

Saat VOC bubar pada 31 Desember 1799, kekuasaan beralih ke pemerintahan kolonial Belanda. Nasib Galuh pun semakin tak menentu. Apalagi tiba-tiba saja Belanda menyewakan Galuh kepada Kesultanan Yogyakarta. Pada saat itu yang menjadi Bupati di Galuh adalah Adipati Surapraja tahun 1806-1811.

Pada 15 Januari 1815, Kabupaten Galuh dipimpin oleh R Tumenggung Wiradikusuma. Ia bersepakat dengan dua Patih yakni Patih Utama dan Cibatu untuk bersatu. Kemudian Wiradikusuma menetapkan bahwa kabupaten yang dipimpinnya bernama Galuh dengan ibu kotanya di Ciamis (Cibatu).

Kabupaten Galuh secara resmi dipakai dalam istilah pemerintahan di Hindia Belanda. Galuh pun kembali dipimpin oleh keturunan Maharaja Sanghyang Cipta  (Raja Galuh).

Pada tahun 1839-1886, Kabupaten Galuh dipimpin oleh RAA Kusumadiningrat atau Kanjeng Prebu yang merupakan Bupati Galuh terkemuka. Di bawah kepemimpinannya, Kabupaten Galuh berhasil melaksanakan pembangunan.

Kanjeng Prebu membangun daerah kekuasaannya dengan membangun beberapa gedung di wilayah Ciamis sebagai ibu kota Kabupaten Galuh. Seperti Gedung Kabupaten yang kini digunakan sebagai gedung DPRD Ciamis. Kemudian membangun Asisten Residen Galuh yang kini jadi Pendopo Bupati. Pembangunan lainnya, seperti tangsi militer, penjara, masjid agung dan lainnya.

Kabupaten Galuh Berubah Nama Jadi Ciamis

Pergantian nama Galuh jadi Ciamis pada masa Pemerintahan Bupati Galuh Wiradikusuma. Pada tahun 1815, ibu kota Kabupaten Galuh pindah dari Imbanagara ke Ciamis (Cibatu).

Lalu setelah pemerintahan Raden Adipati Kusumasubrata (penerus Wiradikusuma), Pemerintah Hindia Belanda tidak lagi menyerahkan jabatan bupati kepada keturunannya. Sesuai kepentingan pemerintah kolonial, salah satu faktornya karena banyak keturunan bupati yang dianggap mulai menentang Pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengangkat Raden Tumenggung Sastrawinata sebagai Bupati Galuh. Sastrawinata tidak memiliki hubungan darah dengan bupati sebelumnya.

Tepat pada 1916, Sastrawinata mengubah nama Kabupaten Galuh menjadi Kabupaten Ciamis. Hal ini menyesuaikan nama daerah Ciamis sebagai ibu kota Kabupaten Galuh.

Dengan ini, Raden Adipati Sastrawinata merupakan Bupati Kabupaten Ciamis pertama.

Amis

Asal usul nama Ciamis konon tidak jelas dan belum ditemukan dasarnya. Dr A Sobana Hardjasaputra, SS MA, sejarawan dari Unpad Bandung, menyebut nama Ciamis berasal dari orang Jawa karena sungai di wilayah Galuh banyak ikannya.

Kata ‘amis’ dalam bahasa Jawa berarti anyir. Ada pula pendapat, konon anyir tersebut bukan menunjuk pada ikan, tetapi bau darah tertumpah pada saat pertempuran.

Bagi Dr. Sobana, jika penyebutan Ciamis didasarkan pada sejarah yang berkaitan dengan bau darah, maka hal tersebut dapat dikatakan cemoohan dan pelecehan.

Konon tahun 1739 pernah terjadi penyerbuan dan penjarahan di daerah Ciancang, oleh ratusan orang yang datang dari Banyumas, Jawa Tengah sekarang. Pasukan Ciancang yang dibantu prajurit dari Sukapura, Limbangan, Parakan Muncang dan Sumedang dapat menumpas para penyerbu, dan banyak penjarah yang tewas terbunuh.

 

Editor

Recent Posts

Apakah ‘Mobil Tayo’ Bisa Kena Tilang?

BANDUNG - Seringkali kita melihat unit mobil yang dimodifikasi menjadi angkutan penumpang di jalan raya…

11 menit ago

Pemkot Bandung Targetkan Pengurangan Ritase Sampah ke TPA Sarimukti hingga 140 Rit per Hari

BANDUNG - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung menargetkan pengangkutan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti…

25 menit ago

Pemkot Bandung Targetkan Penanaman 3.000 Pohon di Kawasan Bandung Utara

BANDUNG - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terus berkomitmen untuk menghijaukan lahan kritis di Kawasan Bandung…

30 menit ago

Modus Therapi, 5 Nakes Gadungan Gasak Perhiasan di Cirebon Ditangkap

SATUJABAR, CIREBON -- Polresta Cirebon, Jawa Barat, berhasil mengungkap kasus penipuan dan pencurian dengan modus…

8 jam ago

Rem Blong Penyebab Tabrakan Maut di Subang, 2 Tewas 8 Luka-Luka

SATUJABAR, SUBANG -- Satuan Lalu-Lintas (Satlantas) Polres Subang, Jawa Barat, sudah mengidentifikasi 2 korban tewas…

16 jam ago

KPU Jabar Gunakan Sirekap untuk Hitung Suara Pilkada 2024

Sirekap merupakan alat bantu yang bertujuan untuk mempermudah rekapitulasi penghitungan suara. SATUJABAR, BANDUNG -- Komisi…

18 jam ago

This website uses cookies.