BANDUNG – Wakil Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amarulla Octavian menyatakan bahwa BRIN terus berkomitmen mengembangkan riset dan inovasi, tidak hanya di tingkat spesies, tetapi juga mencapai rekayasa genetik. Riset biologi struktural dan rekayasa genetik menjadi bagian penting dari bioteknologi yang bertujuan untuk memodifikasi organisme guna meningkatkan kualitas, produktivitas, dan ketahanannya.
“Pengembangan riset di bidang ini sangat penting untuk mendapatkan nilai bioprospeksi dari beragam sumber daya hayati di Indonesia,” ujarnya.
Amarulla menekankan pentingnya pemahaman dan pengelolaan sumber daya hayati untuk mendukung berbagai sektor, sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan sumber daya alam demi generasi mendatang, sejalan dengan Visi Indonesia Emas 2045.
Profesor Riset Pusat Riset Rekayasa Genetika BRIN, Enny Sudarmonowati, mengungkapkan tantangan sektor pertanian Indonesia, seperti penurunan luas lahan pertanian, rendahnya produktivitas, dan kualitas nutrisi tanaman, yang diperburuk oleh perubahan iklim serta serangan hama dan penyakit. Teknologi omics diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman melalui manipulasi genetik yang lebih efisien.
“Teknologi omics menjadi solusi potensial dalam menciptakan sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia, membantu meningkatkan produksi pangan dan ketahanan tanaman,” ujarnya melalui siaran pers.
Enny menjelaskan bahwa teknologi genomik digunakan untuk menemukan variasi genetik yang dapat meningkatkan hasil tanaman dan ketahanan terhadap hama serta penyakit. Teknologi ini juga memungkinkan identifikasi gen yang terlibat dalam respon tanaman terhadap kontaminan lingkungan.
Di sisi lain, Profesor Riset Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Syahruddin Said, menyoroti tantangan Indonesia dalam mencapai swasembada daging sapi. Pada 2022, kebutuhan daging mencapai 706.388 ton, sementara produksi hanya 415.930 ton, menciptakan defisit sebesar 41,12 persen.
“Bioteknologi reproduksi hewan, seperti inseminasi buatan dan transfer embrio, menjadi solusi untuk meningkatkan populasi sapi secara cepat dan efisien,” jelasnya.
Sementara itu, Profesor Riset Pusat Riset Botani Terapan BRIN, Budi Leksono, menekankan pentingnya pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam konteks krisis energi global dan target Indonesia untuk mencapai 23 persen energi terbarukan pada 2025. Tanaman nyamplung dan malapari, sebagai penghasil minyak non-pangan, menawarkan solusi ramah lingkungan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
“Kedua tanaman ini telah diuji pada skala laboratorium dan memenuhi persyaratan untuk biodiesel dan bioavtur. Penanaman dalam skala industri (>100 hektar) sedang dipersiapkan untuk memenuhi permintaan BBN di pasar global,” tambahnya.