Kratom.(FOTO: BNN Sumsel)
BANDUNG – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tengah mengembangkan berbagai riset mengenai kratom, terutama dalam penggunaannya secara tradisional dan aktivitas farmakologisnya. Penelitian awal menunjukkan bahwa kratom mengandung dua jenis inflamasi, yaitu alkaloid dan ekstrak, yang memberikan efek analgesik. Namun, terkait keamanan dan potensi kecanduan, WHO masih melakukan kajian lebih lanjut mengenai sifat kecanduan dari kratom.
Masteria Yunovilsa Putra, Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, menjelaskan dalam acara BRIN Insight Every Friday (BRIEF) edisi 133 bahwa saat ini sedang dilakukan pengujian kratom untuk pengobatan diabetes, baik melalui uji in vivo maupun in vitro. Ia mencatat data empiris dari beberapa pengguna kratom di Kalimantan yang menunjukkan penurunan level glukosa darah setelah mengonsumsi kratom.
“Daun kratom kini menjadi perbincangan hangat, terutama karena klaim manfaat kesehatan dan kontroversinya. Tanaman ini, yang berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah dimanfaatkan dalam medis tradisional. Pemerintah Indonesia juga telah mengatur kebijakan pemanfaatan dan perdagangan kratom melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 tahun 2024,” ungkap Masteria dikutip dari laman brin.go.id.
Kratom, atau Mitragyna speciosa, adalah tanaman endemik di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia dan Kalimantan. Tanaman ini umum diekspor ke Amerika dan Eropa. Masteria menjelaskan bahwa kratom biasanya dikonsumsi dalam bentuk daun kering yang diseduh sebagai teh. Tanaman ini diyakini dapat mengatasi infeksi usus, nyeri otot, batuk, dan meningkatkan energi serta suasana hati.
Sejak awal abad ke-20, kratom telah menjadi subjek penelitian. Pada tahun 1921, senyawa kratom pertama kali diisolasi dan hingga kini masih menjadi topik kontroversial. Terdapat lebih dari 40 jenis senyawa alkaloid dalam kratom, dengan lima senyawa utama yang banyak diteliti, termasuk mitragynine dan 7-hydroxymitragynine, yang menunjukkan potensi sebagai analgesik dan untuk pengobatan kanker.
Meskipun WHO melakukan prereview tentang dampak kesehatan kratom, mereka menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti untuk melanjutkan ke tahap critical review, tetapi tetap melakukan surveilans.
Riset yang dilakukan oleh BRIN mencakup standarisasi ekstrak alkaloid, studi in vitro tentang aktivitas antioksidan, dan studi in vivo mengenai efek analgesik serta potensi sebagai adjuvant terapi kanker. Masteria menambahkan bahwa ekstrak kratom menunjukkan aktivitas antiinflamasi dan analgesik yang menjanjikan, serta efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan morfin.
“Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan lebih dalam mengenai khasiat dan potensi kratom untuk kesehatan, serta mendorong pengembangan terapi berbasis tanaman ini,” tutup Masteria.
Sedong dinilai sangat ideal karena topografinya berupa perbukitan terbuka dan potensi angin yang konsisten. SATUJABAR,…
Pelayanan haji tahun ini menjadi perhatian besar pemerintah. SATUJABAR, JAKARTA -- Kementerian Agama RI (Kemenag…
Lucky diminta hadir sepekan sekali selama tiga bulan ke Kemendagri untuk belajar mengenai tata kelola…
Hakim menolak gugatan praperadilan kliennya karena tidak sesuai dengan isi perkara. SATUJABAR, BANDUNG -- Majelis…
Dirut PT Rafined Bangka Tin ini diputus pidana 19 tahun penjara dan denda ganti kerugian…
SATUJABAR, BANDUNG – Rekomendasi saham Selasa (29/4/2025) emiten Jawa Barat. Berikut harga saham perusahaan go…
This website uses cookies.